Guru SD-ku pernah bilang, manusia diciptakan untuk berinteraksi dengan alam semesta', dulu aku setuju dengan itu. Tapi seiring bertambahnya usia, paradigmaku pun mulai bergeser. Kini, kita cenderung lebih memilih untuk berinteraksi dengan layar-layar kecil yang berada di genggaman kita.
Sebagai manusia modern, kita telah mencapai level baru dalam evolusi: menjadi makhluk yang tak bisa dipisahkan dari ponsel. Kita hidup dalam era di mana 'hidup tanpa smartphone' dianggap sebagai mitos belaka.
Perubahan ini begitu nyata, terlihat jelas bagaimana orang-orang sekarang menggunakan smartphone di mana pun dan kapan pun. Fenomena ini sering disebut sebagai transformasi digital, namun bagiku, ini lebih seperti revolusi digital. Keduanya memiliki makna yang mirip yaitu perubahan, namun terdapat perbedaan antara transformasi dan revolusi. Transformasi mengacu pada perubahan yang lambat dan bertahap, sementara revolusi menggambarkan perubahan yang sangat cepat dan menonjol.
Hal ini sejalan dengan data laporan dari We Are Social, bahwa pada bulan Januari 2023 jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 212,9 juta jiwa, dengan rata-rata orang Indonesia berselancar di internet selama 7 jam 42 menit per hari. Bahkan dulu kita tak punya waktu sebanyak itu untuk memainkan ponsel ketika internet masih menjadi hal yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan atas saja.
Revolusi ini berimbas ke berbagai hal termasuk sistem pembayaran. Pada zaman dahulu, sistem pembayaran dilakukan dengan cara yang jauh berbeda. Manusia menggantungkan diri pada sistem barter, menukar barang dengan barang. Namun, evolusi pun datang. Koin-koin pertama muncul, menghadirkan kemudahan dalam transaksi. Berlalu waktu, uang kertas diperkenalkan, memberikan kepraktisan.
Tetapi tidak berhenti di situ, era digital tiba. Kartu kredit, dompet digital, dan kode QR merevolusi cara kita membayar. Dengan sentuhan jari, transaksi selesai. Kisah sistem pembayaran ini melukiskan perjalanan manusia yang selalu mencari efisiensi dan kenyamanan. Kita dituntut untuk melakukan inovasi untuk mencapai efisiensi tinggi.
Tak mau ketinggalan kesempatan atas fenomena 'manusia tidak bisa hidup tanpa smartphone', Bank Indonesia pun berinovasi memperkenalkan sistem pembayaran baru yang bisa digunakan lewat ponsel.
BI mengadopsi sistem pembayaran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai terobosan revolusioner yang ditandai dengan adanya kecepatan dan kemudahan. Dengan memanfaatkan teknologi kode QR, transaksi menjadi lebih efisien dan transparan, tanpa terbatas pada jenis ponsel maupun bank atau dompet digital yang digunakan.
QRIS memungkinkan manusia dan teknologi saling terhubung. Individu yang sebelumnya tidak terhubung dengan sistem keuangan formal kini memiliki akses terhadap layanan pembayaran digital, yang pada gilirannya dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam kegiatan ekonomi.
Bicara soal ekonomi, teori ekonomi mengakui bahwa sebuah negara tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pada perekonomian internalnya sendiri. Ketergantungan pada perekonomian internal yang terisolasi dapat membatasi potensi pertumbuhan ekonomi. Perdagangan internasional, wisatawan luar negara, dan hubungan ekonomi dengan negara lain dianggap penting dalam ekonomi global saat ini. Bisa kita rasakan ketika pandemi covid-19 melanda, Bali yang selalu digandrungi wisatawan mancanegara pun perekonomiannya collapse karena akses masuk negara dibatasi.
Namun, penting juga dicatat bahwa bergantung pada perdagangan internasional pun memiliki tantangan tersendiri. Ketidakstabilan di pasar global dapat mempengaruhi perekonomian negara yang lainnya.