Mohon tunggu...
Dewi
Dewi Mohon Tunggu... Pneyunting Naskah -

Penikmat kopi dan rindu. Sesekali menyeka hujan pada kesenduan. Penyunting naskah freelance. CV Pupa Media IG: @_dewipuspitasarii_ Wattpad: @dewi_ps

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Stopmap Biru Tua

13 Januari 2014   17:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kicau burung terdengar samar-samar, menjejaki langit berawan merah saga. Senja ini tak lagi sama, camar membawa kabar tak serupa. Angin mendesah lemah di telinga, bisikkan cerita lama yang masih tertata. Mungkin, gerimis tak ingin ratapi dukaku, hanya pelangi yang kelabu menyelimuti senjaku.

Hemmmbbb… kuhembuskan nafas panjang, mata ini masih tertuju pada satu bunga mawar yang mekar di halaman rumahku, tapi entah apa yang sedang aku fikirkan. Semenjak kepergian ibu aku lebih suka menghabiskan senja di halaman rumahku, menikmati kilau indahnya langit sore sembari menunggu ayah pulang dari kantor. Tapi sampai sesore ini, sampai senja hampir mengepung langit ibu kota, ayah belum juga terlihat pulang. Mungkin ayah lembur hari ini dan lupa untuk sekedar memberi kabar atau meneleponku. Ketika adzan maghrib berkumandang, aku putuskan untuk masuk ke dalam rumah dan akan menunggu ayah di ruang tamu saja seusai sholat maghrib nanti.

Kuputar pegangan roda pada kursi rodaku untuk membawaku ke dalam rumah. Aku tahu, Mbak Tati pasti sedang sholat maghrib, jadi aku putuskan untuk menjalankan kursi rodaku sendiri.

Sudah sedari kecil aku menggunakan kursi roda, karena ada masalah dengan pertumbuhan tulang punggungku yang mengakibatkan aku tidak bisa berdiri atau berjalan sendiri. Mbak Tati adalah perawat yang sengaja dipanggil oleh ayah untuk merawatku sejak kecil, sehingga aku sudah terlalu dekat dengan Mbak Tati.

***

“Brakkk..”

Terdengar suara pintu yang sengaja di tutup dengan keras. “Siapa ya yang membanting pintu sekeras itu?” Pikirku dalam hati sambil melipat mukenah yang baru saja aku kenakan.

“Darimana kamu Galih?” Tanya ayah pada Mas Galih. Dia adalah anak pertama dari ayah dan ibu sekaligus satu-satunya kakak yang aku miliki.

“Jawab Galih, darimana kamu? Kamu tahu sekarang pukul berapa?”. Tanya ayah lebih keras lagi, karena Mas Galih tidak menjawab dan terkesan tidak mempedulikan ayah.

Iya, memang saat ini jam menunjukkan pukul 01.15 WIB, dan Mas Galih baru pulang dari pagi tadi. Aku segera meletakkan mukenah yang selesai aku lipat seusai sholat malam. Perlahan aku jalankan kursi roda ke dekat pintu kamarku, mataku tertuju pada ayah dan Mas Galih yang sedang bertengkar di ruang tamu. Pertengkaran ini bukanlah yang pertama kalinya, tetapi hampir setiap hari semenjak kepergian ibu, sebelas bulan yang lalu.

“Kuliah..” JawabMas Galih singkat.

“Kuliah macam apa tengah malam begini baru pulang? Mau sampai kapan kamu membenci ayah, Nak?”. Tegur ayah dengan suara yang mulai meratap.

Meski Mas Galih selalu membantah ibu dan sering membuat ibu kecewa, tetapi aku tahu, rasa kehilangan dalam diri Mas Galih begitu besar, dia sangat terpukul karena kepergian ibu yang terlalu cepat. Entah mengapa, Mas Galih selalu menyalahkan ayah atas kepergian ibu. Mungkin juga Mas Galih menyesal, karena selama hidupnya belum sempat membuat ibu bahagia dan selalu mengecewakan ibu.

“Kalau saja ayah mencari pendonor ginjal untuk Ibu, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Mungkin saja saat ini kita masih bisa berkumpul bersama Ibu. Tapi apa, ayah membiarkan Ibu pergi begitu saja.” Ucap Mas Galih dengan nada tinggi.

“Cukup Galih!!! Ibu kini sudah tenang di sisi-Nya. Semarah apapun kamu, sebenci apapun kamu terhadap ayah, semua tidak akan bisa mengembalikan ibu kepada kita. Asal kamu tahu Galih, biaya untuk pendonor ginjal itu tidaklah murah, belum lagi biaya operasinya. Lagipula, pemilik rhesus seperti ibu itu susah ditemukan di Indonesia. Harus dengan apa kita membayar semuanya, tabungan ayah sudah menipis untuk operasi pengangkatan kanker ibu kemarin. Belum lagi, ayah harus menebus obat buat Dinda setiap bulannya. Apa kamu….“

“Ah, itu alasan ayah saja. Sudahlah..” Potong Mas Galih sambil berlalu menuju kamarnya.

Aku langsung menutup pintu kamar sebelum Mas Galih melihatku telah mendengarkan perseteruannya dengan ayah tadi.

“Ya Allah, baru saja aku bersimpuh di hadapan-Mu dan memohon yang terbaik untuk keluargaku, tetapi mengapa lagi dan lagi ayah dengan Mas Galih harus bertengkar. Berikan petunjuk-Mu kepada kami ya Allah.” Ratapku dalam hati.

***

Matahari kembali menjalankan tugasnya, menggantikan purnama yang semalaman menjaga langit. Embun masih menggelayut di dahan pohon, daun terlihat ranum tersiram sinar surya keemasan. Dingin sisa angin semalam masih terasa mendesah jiwa, menggoyangkan rumput-rumput teki yang berjajar rapi. Aku bergegas membersihkan diri dan membantu Mbak Tati menyiapkan sarapan untuk ayah dan Mas Galih.

“Mbak, setelah ayah dan Mas Galih berangkat antarkan aku ke makam Ibu ya? Aku kangen sama Ibu.”

“Iya, sayang. Sarapan dulu ya..” Jawab Mbak Tati lembut.

Keheningan kembali terjadi di atas meja makan pagi ini. Jujur, aku sangat tidak menyukai situasi hening seperti ini. Aku sangat merindukan kehangatan yang dulu selalu tercipta ketika Ibu masih ada. Tapi, aku harus bersikap biasa saja untuk tidak memperkeruh suasana.

Ibu, tidur yang tenang ya. Aku akan selalu berdoa untuk kebaikan ibu di sana. Aku juga akan berusaha untuk menjaga ayah dan Mas Galih. Aku akan mengembalikan situasi seperti saat Ibu masih bersama kami. Aku kangen sama Ibu.”

Tak terasa air mataku mulai menetes perlahan membasahi bunga yang berada dipangkuanku. Segera aku menyekanya sebelum menjatuhi pusara Ibu, lalu aku taburkan bunga mawar di atas pusara Ibu. Aku selalu ingat, Ibu sangat menyukai bunga mawar merah. Maka dari itu, setiap kali aku datang ke makam Ibu, aku selalu membawa mawar merah yang masih segar.Aku mencium nisan Ibu dan meninggalkan tanah pemakaman.

Langit sudah mulai sore, seperti biasa aku duduk di halaman rumah. Kali ini aku di temani Mbak Tati yang menggantikan tugasku menyirami bunga mawar kesayangan ibu. Tapi, senja ini tak nampak sempurna. Tak ada kilauan jingga yang menghiasi langit sore, burung-burung senja pun sepertinya sudah terbang pulang lebih awal, karena tahu senja ini akan dihiasi dengan gerimis tipis. Petangpun datang sebelum waktunya, awan saga merah berganti menjadi kelabu karena mendung. Baiklah, akupun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah lebih awal dari biasanya.

Sudah hampir tengah malam ayah belum juga pulang. Apa iya ayah lembur sampai selarut ini, tidak biasanya ayah tidak meneleponku.

“Belum tidur dik?” Tanya Mas Galih yang juga baru saja pulang.

“Nunggu ayah, Mas..” Jawabku dengan perasaan yang sedikit mulai panik.

Akupun terlelap di ruang tamu karena terlalu lama menunggu ayah. Tetapi, ketika mataku terbuka, aku tidak mengerti mengapa aku seperti di rumah sakit? Aroma bahan kimia yang khas dan aku kenal betul aroma rumah sakit. Aku membuka mata lebar-lebar, mencoba menjernihkan pandangan dengan mengucek mataku. Sesosok pria paruh baya tampak tertidur pulas di atas ranjang besi beroda di depanku, dengan pakaian seperti pasien rumah sakit dan selang infuse yang terpasang di tangan kanannya.

“Ayah..??” Tanyaku heran .

“Iya Din, semalam Mbak dapat kabar dari kantor bahwa Bapak tiba-tiba pingsan dan langsung di bawa ke rumah sakit oleh rekan sekantornya. Kamu sudah tertidur pulas, Mas Galih langsung membopongmu ke dalam mobil tanpa membangunkanmu karena tidak mau mengganggu tidurmu.”

“Ayah kenapa Mbak? Lalu Mas Galih di mana sekarang?” Tanyaku lagi dengan perasaan cemas.

“Mas Galih sedang mengurus biaya administrasi, Din. Dinda yang sabar ya, selalu berdoa buat ayah.”

Ketika aku berniat untuk mencari udara segar di luar rumah sakit, tidak sengaja aku melewati ruangan Dokter Hans yang merawat ayah, beliau juga dokter yang selama ini menangani penyakit ibu. Kebetulan beliau sedang berbicara dengan Mas Galih.

“Apa Dok? Selama ini ayah hidup hanya dengan satu ginjal? Lalu, ayah mendonorkan ginjalnya untuk siapa?” Tanya Mas Galih dengan nada terkejut.

“Sebaiknya kamu tanyakan saja pada ayahmu.”

Sontak aku terkejut dengan pernyataan Dokter bahwa ayah hanya memiliki satu ginjal. Lalu untuk siapa ginjal yang satunya? Tidak mungkin untuk Ibu karena rhesus ayah dan rhesus ibu berbeda.

Aku sengaja pulang untuk mengambil pakaian ayah dan pakaianku sendiri, aku melihat Mas Galih membuka-buka lemari dan laci di kamar ayah. Aku tidak tahu apa yang Mas Galih cari, tapi aku hanya diam karena aku juga ingin tahu apa yang ingin Mas Galih temukan.

Lalu Mas Galih menemukan satu map berwarna biru tua yang terselip di dalam laci paling bawah, Mas Galih mengambilnya dan membuka isi map itu perlahan. Mas Galih terlihat serius membaca dokumen yang terdapat di dalam map tersebut, kemudian Mas Galih terduduk di atas ranjang ayah dengan amarah menjambak rambutnya dan raut wajah Mas Galih berubah menjadi kesedihan bercampur ketidakpercayaan. Mungkin apa yang menjadi pertanyaannya selama ini sudah menemui jawaban.

Aku masih belum paham dengan isi dokumen yang baru di baca Mas Galih. Belum sempat aku menanyakannya, tiba-tiba Mbak Tati mendapat telepon dari rumah sakit bahwa sekarang ayah dalam keadaan kritis. Kami bergegas kembali ke rumah sakit dengan penuh kepanikan.

“Galih, sayangi dan jaga baik-baik ginjal ayahmu yang sekarang ini hidup di dalam tubuhmu. Kini ayahmu sudah pergi menyusul ibumu. Maafkan saya Galih, karena saya tidak bisa berbuat banyak untuk menolong ayahmu. Tetapi, masih ada setetes darah ayahmu yang hidup dan mengalir di dalam tubuhmu.”

“Dan akhirnya, aku tahu.. Siapa pemilik sebelah ginjal ayah…” Air mataku mengalir deras membasahi stopmap biru tua yang berada dalam dekapanku.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun