Perilaku korupsi kini menyebar di hampir semua cabang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Pada garis vertikal, korupsi bertengger di setiap hirarki pemerintahan, dari pusat kekuasaan hingga level terendah. Korupsi merupakan salah satu jenis white-collar crime. Terdapat salah satu teori yang dapat menjelaskan kenapa seseorang melakukan tindakan korupsi atau penipuan.
Fraud Triangle (Segitiga Fraud)Â menjadi salah satu teori yang dapat menjelaskan perilaku korupsi. Fraud Triangle Theory merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Donald Cressey (1950) dalam menentukan penyebab orang melakukan kecurangan, setelah mempelajari 250 penjahat dalam jangka waktu 5 bulan. Cressey (1953) menyatakan bahwa harus ada tiga unsur yang harus dimiliki oleh penipu untuk melanggar kepercayaan. Elemen-elemen ini adalah tekanan/insentif, peluang, dan rasionalisasi (Abdullah, dkk, 2018:3-4).Â
1. Tekanan atau Pressure
Menunjukkan bahwa tekanan untuk melakukan kecurangan memang tidaklah nyata atau dapat dilihat secara fisik, dan itu hanya tergantung pada persepsi pelakunya, namun tekanan atau insentif adalah faktor kunci untuk melakukan penipuan (Lister, 2007). Terdapat tiga jenis tekanan, yaitu pribadi, stres kerja, dan tekanan eksternal. Terdapat penelitian yang telah dilakukan oleh Vona (2008) kepada beberapa individu yang sedang bekerja, dan penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan dari perusahaan atau tempat kerja menunjukkan motivasi yang signifikan untuk individu berkomitmen pada Fraud atau korupsi.Â
2. Peluang atau Opportunity
Menurut Rae dan Subramanian (2008) dan Rasha dan Andrew (2012) dalam Abdullah, dkk, (2018), peluang adalah kelemahan dalam sistem di mana karyawan atau individu memiliki kesempatan, kekuatan dan kemampuan untuk mengeksploitasi dan mungkin berkomitmen melakukan penipuan. Semakin lemahnya sistem pengendalian internal organisasi maka kemungkinan besar tersedia peluang untuk melakukan dan menyembunyikan kecurangan. Turner, Mock dan Sripastava (2003) berpendapat bahwa meskipun ada tekanan atau motif pada seseorang, dia tidak dapat melakukan penipuan sampai kemungkinan diciptakan (peluang).Â
3. RasionalisasiÂ
Rasionalisasi adalah elemen ketiga dari Fraud Triangle Theory. Konsep ini menunjukkan bahwa dalam proses melakukan fraud, pelaku fraud memiliki persepsi pribadi di mana hal tersebut dapat diterima secara moral yang akan digunakan untuk merasionalisasi idenya sebelum melanggar kepercayaan atau sistem. Rasionalisasi mengacu pada keyakinan oleh pelaku bahwa perilaku tidak jujur dan tidak etis yang dilakukan bukan merupakan aktivitas kriminal, tindakan tersebut pantas untuk dilakukan, dan lain sebagainya.Â
Beberapa contoh perilaku moral yang digunakan para penipu untuk merasionalisasi kecurangan mereka tindakan termasuk; "Saya hanya meminjam uang", "Saya berhak atas uang itu", "Saya harus mencuri untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya " Cressey 1953).Â
Sama pentingnya untuk dicatat itu relatif sulit untuk mengamati rasionalisasi, karenanya, tidak mungkin untuk membaca pikiran penipu (Cressey, 1953 dalam Wells, 2005). Elemen insentif/tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi semuanya saling terkait, dan antar-hubungan antara elemen memiliki signifikan mempengaruhi satu sama lain hingga penipuan tidak dapat terjadi kecuali semuanya ada. Menariknya, Howe dan Malgwi (2006) mengemukakan bahwa kesenjangan yang diciptakan antara insentif/tekanan dan peluang dijembatani ketika penipu mampu membenarkan perilaku tidak etisnya.Â
Sehingga berdasarkan Fraud Triangle Theory dapat disimpulkan bahwa individu atau sekelompok individu yang melakukan tindakan korupsi memiliki tekanan, peluang dan rasionalisasi yang kemudian mengerakkan individu atau sekelompok individu tersebut untuk melakukan korupsi. Sisi lain dari toeri ini tidak hanya dapat membaca "kenapa korupsi bisa terjadi" tetapi juga dapat menjadi bahan acuan untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya tindakan korupsi dengan tidak memberikan kesempatan untuk perilaku korupsi tumbuh.