Mohon tunggu...
Dewi Iriani
Dewi Iriani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

saya adalah diri saya, yang suka belajar, suka menulis. Sahabat yang baik membuat saya bahagia. Saya suka berteman. Teman bagi saya adalah aset, ia juga inspirasi sekaligus teman berbagi, terutama berbagi ilmu. Indahnya hidup jika mempunyai banyak teman - teman yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Review Narsisme pada Buku "Dearlove for Kids #1"

12 September 2011   05:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:02 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah pernah baca buku Dearlove for Kids#1? Buku cerita anak itu mengandung sebuah tulisan karyaTsuraya Widuri. Diterbitkan oleh Hasfa Publisher, September 2011. Asal tahu saja, Tsuraya Widuri itu nama pena yang selalu kugunakan dalam semua kegiatan menulisku kecuali di Kompasiana ini tentunya. Jadi sekarang aku akan mereview karyanya alias jeruk makan jeruk alias aku mereview karyaku sendiri. Lho, ada gitu? Ya, kalau tidak ada, diada-adakan juga bolehlah(haha, maksa).

Tulisannya berjudul ‘Chika tidak takut bersekolah’. Tokohnya adalah Chika, anak wanita yang jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Tempat tinggalnyatidak memungkinkan ia bersosialisasi dengansesama anak kecil si sekitarnya. Maka jangan heran kalau iahanya mengenal mama, papa dan boneka-boneka kesayangannya. Karena terbiasa dibacakan buku cerita oleh kedua orang tuanya, maka Chika menamai boneka-bonekanya dengan nama tokoh dalam buku ceritanya. Sebagai contoh adalah princess Alinski, princess Dewi, princess Maya danPangeran Hakul.

Jika kalian sudah membaca tulisannya, maka akan banyak ditemukan pesan tentang pengasuhan anak di sana. Salah satunya adalah membiasakan membacakan cerita kepada anak sejak dini. Pesan parenting juga ditambahkan dengan kebiasaan memberi hadiah buku untuk saat-saat istimewa. (Lihat akhir cerita.)

Karakter yang terlihat kentara dalam naskah ini adalah Chika yang agak penakut akan kejadian yang belum menimpanya. Eksesnya mulutnya jadi cemberut saja. Ketakutan Chika dalam cerita ini adalah adalah takut untuk bersekolah.

Lagi-lagi pendekatan parenting yang dilakukan ibunya dilakukan untuk membuat Chika tergugah untuk bersekolah. Sebelum hari sekolahnya, ibunya memperlihatkan sekolah barunya. Sekolah mempunyai sudut ketertarikan bagi anak karena bangunannya menarik, taman yang luas dan terdapat aneka permainan anak. Tapi ternyata hal itu belum membuat Chika benar-benar tertarik.

Tak kalah akal sebelum berangkat sekolah, ibunya membuat makanan istimewa kesukaan Chika. Chika mulai menampakkan semangatnya. Ia juga menyenangi seragam barunya walau tidak diungkapkannya. Di sini pihak sekolah yang boleh mendapat acungan jempol karena bisa mendesain baju seragam yang unik yang bisa membuat anak senang. Anak seolah-olah dibawa berimajinasi untuk menjadi seorang pelaut.

Sisi parenting dari seorang ayah adalah pemberian sugesti positif dengan mengatakan kepada anaknya : “Selamat bersenang-senang, Sayang.”Kata-kata itu adalah obat, sugesti yang berisi harapan bahwa sekolah bukanlah beban. Tetapi sekolah adalah tempat yang menyenangkan.

Yang lebih mengejutkan adalah para ibu guru yang berbaris rapi di gerbang sekolah. Mereka memberi penghormatan dengan sedikit membungkukan badan sambil tersenyum. Chika menyangka ia dihormati karena ia anak seorang direktur. Tetapi menurut ayahnya Chika dan semua murid di sana diberi hormat karena mereka adalah calon dokter, apoteker, dosen, insinyur dan lain sebagainya. Jadi penghormatan itu adalah harapan. Juga membuat anak menjadi mempunyai kesan yang menyenangkan. Ia merasa bangga, penting dan diakui keberadaannya. Suasana menyenangkan di sekolah pun akhirnya membuat Chika merasa percaya diri. Ia tidak mau ditemani mamanya walaupun itu adalah hari pertama sekolahnya.

Kesimpulannya, orang tua dan pihak sekolah telah berhasil membuat anak menyukai sekolah bukan menjadikannya sebagai beban. Sekolah menjadi institusi yang menyenangkan. Apalagi di hari pertama ibu guru sudah mau membacakan cerita. Membacakan cerita akan membuat anak didik dan guru akrab. Apalagi terjadi proses interaksi di sana.

“Siapa yang mau seperti pangeran Haklul yang baik hati dan suka menolong?’ Tanya ibu guru.

“Saya, saya,” jawab anak-anak ramai. Lucunya murid wanita pun ikut menjawab. Padahal pangeran Hakul itu kan laki-laki. Dasar anak, ada-ada saja tingkahnya. Ide cerita unik ini didapat dari diskusi parenting pada acara inspirasi pagi di radio MQ fm.

Penasaran membaca kisah Chika si tukang cemberut yang enggan sekolah? Yuk beli bukunya saja. Barangkali bisa menjadikan sebuah panduan untuk orang tua yang anaknya enggan bersekolah untuk pertama kalinya. Sip.

Harga Rp 20rb. Untuk pembelian online, Silakan sms 081914032201 atau inbox Facebook Hasfa Publisher .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun