Peristiwa isra’ mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10 Kenabian atau sekitar 621 M. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW pada suatu malam dengan waktu yang singkat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dan dari Masjidil Aqsa naik ke atas langit melalui tujuh langit, dilanjutkan ke Arasy sampai ke Baitul Makmur dan ke Sidratul Muntaha. Peristiwa isra’ mi’raj menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah umat Islam dan sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW. Momen ini terabadikan dalam surat Al Isra ayat 1:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [١٧:١]
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam beberapa riwayat sejarah Islam, ada beberapa pendapat mengenai latar belakang terjadinya peristiwa isra’ mi’raj.
Pertama, menurut Abu Majid Haraki, latar belakang terjadinya isra’ mi’raj adalah untuk meyakinkan orang-orang kafir dan musyrik bahwa apa yang diserukan Nabi Muhammad SAW adalah benar dari Allah SWT dan itu semua kehendak Allah.
Kedua, menurut para ulama, peristiwa isra’ mi’raj memiliki hikmah untuk menghibur Nabi Muhammad SAW yang saat itu mengalami musibah dan duka yang sangat mendalam karena orang yang sangat dicintainya meninggal dunia, yaitu Siti Khadijah dan Abu Thalib.
Peristiwa isra’ mi’raj memiliki makna yang dapat dijadikan sebagai suri tauladan. Isra’ merupakan perjalanan malam yang sepi sebagai proses perenungan dan penemuan diri. Di dalam peristiwa tersebut terdapat nilai psikologis dan edukatif. Secara psikologis, perjalanan malam, dingin, sepi, dan angin yang berhembus dari segala arah merefleksikan bahwa dakwah harus disampaikan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan meskipun berat dan penuh tantangan. Allah telah menjadikan manusia sebagai hamba yang humble struggle dan resistant to pressure, pantang menyerah dengan berbagai potensi diri yang dimiliki. Secara edukatif, sepinya malam dapat digunakan sebagai perenungan, penghayatan, dan menyelami makna luasnya langit dan tata surya. Hal ini merefleksikan bahwa seorang pemimpin akan menghadapi tantangan dunia yang luas dan beragam.
Secara filosofis, makna mi’raj ada pada perintah salat. Ibadah salat adalah ibadah yang diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad secara langsung. Perjalanan religius Nabi Muhammad SAW ketika mi’raj bertemu dengan Allah SWT merupakan perjalanan yang berkaitan langsung dengan keimanan. Perjalanan tersebut menyiratkan suatu nilai spiritual yang ingin ditunjukkan kepada manusia karena perjalanan tersebut bersifat abstrak.
Dari peristiwa pejalanan isra’ mi’raj tersebut, dapat kita refleksikan dalam berbagai aspek:
1. Ketaatan dan keimanan: Nabi Muhammad SAW menunjukkan ketaatan dan keimanan yang kuat sebagai hamba pada Allah SWT, sehingga beliau mampu menerima wahyu dan melaksankan perjalanan isra’ mi’raj. Dalam peristiwa mi’raj, Nabi mendapatkan perintah untuk mendirikan salat. Kita sebagai umat Islam wajib taat dan patuh terdahap perintah Allah SWT, yakni melaksanakan ibadah salat lima waktu.
2. Kesabaran dan ketabahan: Nabi Muhammad SAW menunjukkan ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi tantangan, cobaan dan penindasan yang datang dari kaum Quraisy. Kita patut mencontoh kesabaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan dalam kehidupan.