Kejahatan kesusilaan berupa tindak pidana pencabulan anak dibawah umur sangat mengundang perhatian publik, Â karena seharusnya anak yang masih dibawah umur mendapat perhatian lebih dan perlindungan terhadap dirinya dari masyarakat lingkungan sekitar. Beda hal dengan anak yang mengalami kejahatan didaerah lubuk Basung Sumatera Barat, anak tersebut menjadi korban tindak pidana pencabulan oleh ayah kandungnya sendiri sesuai Putusan Nomor 000/Pid.Sus/2023/PN Lbb
Mirisnya lagi dalam putusan tersebut pelaku tindak pidana divonis bebas oleh hakim karena hakim berpendapat bahwa kurangnya alat bukti, sehingga hal tersebut menjadi keuntungan bagi pelaku mendapatkan putusan yang membebaskan dirinya dari hakim, berdasarkan  pertimbangan hakim "bahwa dari seluruh saksi yang dihadirkan di persidangan tidak ada satupun saksi yang dapat menerangkan adanya aktifitas mencurigakan antara Terdakwa dan Anak Korban, sehingga Majelis Hakim tidak dapat merangkai keterangan saksi-saksi tersebut menjadi suatu keterangan berantai (kettingbewijs) yang dapat mendukung keterangan Anak Korban"  disisi lain pada keterangan saksi-saksi diatas, jaksa Penuntut Umum juga menghadirkan bukti surat berupa Visum et Repertum No. 01/IPJ/V.3/VI/2022 tanggal 7 Juni 2022 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Citra Manila, Sp.F.M, dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang, terhadap seorang atas nama Anak Korban, yang mana dari dalam visum tersebut disebutkan pada pemeriksaan genetalia bagian luar ditemukan pada bibir kemaluan arah jam sembilan hingga jam dua belas tampak kemerahan berukuran dua sentimeter kali satu sentimeter, arah jam tiga tampak kemerahan ukuran satu sentimeter kali satu sentimeter, tampak cairan keputihan. Pada selaput dara ditemukan robekan lama sampai dasar arah jam tiga sesuai arah jarum jam.Â
Pada bagian dalam tidak dilakukan pemeriksaan. Selain itu dari Pemeriksaan swap vagina, ditemukan kuman diplokokus gram negative ekstraseluler (infeksi menular seksual), bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas hanya terdapat satu bukti yakni visum et repertum yang menunjukkan telah terjadi kerusakan dan adanya penyakit pada alat kelamin Anak Korban namun tidak ada bukti sah lain yang dapat menunjukkan bahwa Terdakwalah yang telah mengakibatkan hal-hal tersebut baik dari keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, barang bukti maupun keterangan terdakwa, maka pertimbangan tersebut lah yang menjadi keyakinan hakim untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap pelaku, karena merujuk dalam pasal 183 KUHAP yang dimana hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, karena dalam sistem pembuktian ini, sistem pembuktian terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction in time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim). Â
Pada sumber hukum lain Pasal 76E Jo Pasal 82 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 menyebutkan tentang perlindungan anak dibawah umur, bahwa dalam isi pasal mengatakan sanksinya yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 46 UU PKDRT dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) karena masih ada hubungan darah, Pasal 184 ayat (1) KUHAP jika memang dalam pertimbangan hakim barang buktinya tidak memenuhi unsur 2ab yang sah, akan tetapi untuk kasus pemerkosaan kesaksian korban sudah bisa menjadi alat bukti yang kuat, apalagi dikasus ini terdapat visum et repertum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H