Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem demokrasi, dimana kebebasan ada di tangan rakyatnya. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat merupakan aspek penting atau tiang dalam berlangsungnya demokrasi yang ideal. Namun di era digital ini, kemudahan akses internet membuat masyarakat lebih mudah menggunakan internet dan mengemukakan pendapatnya di muka umum. Sehingga seakan-akan semua bisa mengontrol pikiran publik, tidak hanya media pers saja.
Pers merupakan perwakilan dari rakyat dan sebagai penunjuk arah. Jadi pers bertugas untuk menyampaikan kritik masyarakat atau bisa dikatakan sebagai penyalur kebutuhan masyarakat. Ketika pers sedang memberikan kritik terhadap pemerintah, Pers bukan memusuhi pemerintah namun pers ingin jalannya pemerintahan itu berjalan sesuai yang dikehendaki publik atau masyarakat. Pemerintah harus terus memerlukan kritik-kritik yang bersifat membangun agar Negara lebih terarah dan lebih benar untuk kedepannya.
Pers juga memiliki efek dan kekuatan untuk mengontrol opini dan menyebarkan informasi secara langsung kepada masyarakat. Dengan memegang dan mematuhi kode etik, wartawan tidak perlu takut dan ragu dalam menyampaikan berita atau informasi. Wartawan dan media pers juga tidak perlu ragu dalam mengkritik dan memberi ulasan kepada pemerintah. Namun kerap kali terjadi kepada sejumlah wartawan dan media pers yang diserang buzzer karena mengkritik pemerintah. Serangan tersebut berupa makian atau serangan pribadi kepada wartawan yang membuat pengkritik enggan memberikan kritik lagi.
Saat ini aparatur Negara secara formal mendukung dan berkali-kali mendorong masyarakat untuk bebas berpendapat dan bebas mengkritik pemerintah. Namun ada sekelompok buzzer yang berbeda pendapat dengaan pers dan membela pemerintah, yang mencari kesalahan-kesalahan kepada media pers seperti menuntut dengan pasal UU ITE no.19 Tahun 2016 Pasal 45 ayat 3 yang berisi mengenai muatan penghinaan dan pencemaran nama baik. Jadi meskipun pemerintah secara terbuka mendukung kritik terhadap pemerintah, namun ada sekumpulan buzzer yang berusaha menghalangi jalannya pers untuk mengungkapkan pendapat masyarakat. Banyak media pers yang diserang ketika menyampaikan kritikan terhadap pemerintah. Hal tersebut mengkhawatirkan karena akan membuat para wartawan menjadi takut atau kehilangan kepercayaan dirinya.
Buzzer merupakan anonym atau tidak diketahui pasti mengenai identitasnya. Jadi sulit dan memerlukan usaha lebih untuk mencari identitas para buzzer di media sosial. Tidak ada bukti bahwa buzzer tersebut merupakan kaki tangan pemerintah, yang kita tahu pendapat-pendapat mereka membela pemerintah dan menguntungkan pihak pemerintah, atau perorangan yang berada di pemerintahan. Sehingga seringkali kita mengasosiakannya sebagai kaki tangan pemerintah. Kemudian, sebenarnya apa yang harus dilakukan pemerintah? Jadi pemerintah harus memproses tindak pidana sesuai undang-undang yang berlaku. Seperti halnya juga terhadap pers, jika pers menyimpang dari kode etik maka akan diproses sesuai undang-undang yang berlaku melalui dewan pers.
Salah satu media pers yang pernah mendapatkan serangan yaitu majalah Tempo edisi 21-27 Desember 2020 yang berisi mengenai korupsi dana bansos, yang dalam majalah tersebut menyebut nama Gibran Rakabuming, putra Jokowi Presiden Republik Indonesia dan Puan Maharani, putri dari Megawati Soekarnoputri. Gibran dianggap sebagai penunjuk PT Sri Rejeki Isman Tbk. untuk penyediaan goodie bag, dan Puan Maharani diduga menerima dana miliaran rupiah dari tersangka korupsi bansos, Menteri Sosial Juliari Batubara. Laporan tersebut dinilai mengada-ngada atau hanya sebuah gossip dan langsung trending pada media Twitter dengan tagar yang memojokkan pihak Tempo.
Solusi dari penulis yaitu, masyarakat menjadi lebih memiliki pikiran yang terbuka untuk menerima informasi dari pers. Dan untuk pihak pemerintah lebih memberikan perhatian kepada media pers terkait buzzer yang menghalangi jalannya kebebasan pers yang ada di Indonesia ini. Bisa saja dengan pemerintah bekerjasama dengan anggota polri (cyber police) untuk memberikan kebijakan bahwa hanya ada satu akun social media untuk setiap orang, sehingga penggunaan social media menjadi teratur dan terorgaisir. Jadi ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang menyampaikan ujaran atau ancaman kepada pihak media pers atau perorangan, polisi langsung bisa mengusut kasus tersebut dengan hukuman yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Â
Artikel di tulis oleh : Dewi Fithrotuzzuhriyyah, Mahasiswa semester 4 jurusan Ilmu Komunikasi '19 Universitas Muhammadiyah Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H