Untuk Yusuf,
Aku masih ingat saat itu, pertama kali kita bertemu. Warung mie ayam di pojok pertigaan pasar. Siang-siang dan panas. Lalu, rintik demi rintik hujan turun meredam panas. Ada tukang parkir perempuan mengatur sepeda yang berjajar. Orang-orang ramai menyantap mie namun kita berdua justru diam seribu bahasa. Lalu kau mulai membuka percakapan kita, yang berakhir curhat tentang para mantan.
Kita memutuskan berteman. Teman yang dibalut rasa cinta yang malu-malu dan tentu persahabatan yang meluap-luap. Aku. Iya aku seketika jatuh cinta saat pertama kita bertemu.
Setelah hari itu, intensitas ketemu kita sering mengingat jarak sekolahku dan sekolahmu hanya gang kecil yang sering kita jalan disitu. Sementara hari jumat adalah hari kita bertemu. Bertepatan dengan haru bebas kendaraan, kamu menghampiriku disekolah, berdiri didepan pintu gerbang. Ah, aku tak bisa melupakan senyumanmu setiap kau ada disana.Â
Rasanya hati ini sejuk sekali. Kau tangkupkan tanganmu diatas kepalaku, kau bilang "biar kamu gak kepanasan". Lantas, senyum mekar dibibirku. Di jumat itu juga, aku menemukan buku 'Hidayah'di tasmu, satu2nya buku yang kau bawa ke sekolah. Haha. Aku tertawa, sekaligus semakin mencintaimu.
Waktu berlalu. Sebentar lagi kita akan lulus dsri sekolah. Ini adalah saat yang paling aku tak suka. Berpisah denganmu. Ketika itu, kau mendaftar jadi polisi. Tapi, Allah belum ijinkan. Dan aku, ku putuskan untuk melanjutkan study ku.
Lalu kau bilang, "aku akan melanjutkan kuliahku di Malang, Polinema".
Aku senang, namun sedih...
To be contunue...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H