Sumber foto : http://www.flickr.com/people/57332603@N00/ Beberapa hari lalu, saya dikejutkan dengan sebuah bahasan televisi yang berjudul Jakarta Tenggelam Tahun 2050. Jantung saya berdegup keras setiap kali fakta-fakta yang mendukung teori tersebut disebutkan. Ah, benarkah itu akan terjadi? Menurut berita tersebut, diperkirakan ada empat kecamatan di Jakarta Utara yang akan mengalami banjir permanen, alias tenggelam pada tahun 2050. Mereka adalah kecamatan Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, dan Cilincing. Astaga, ternyata banjir tahun 2007 kemarin belum ada apa-apanya! Dalam rentang 40 tahun ke depan, saya takut kalau tempat tinggal saya di Kelapa Gading sudah lenyap ditelan air. Tidak puas melihat televisi, saya pun melakukan riset kecil-kecilan. Sayang, fakta-fakta yang saya temukan tidak membuat hari saya terasa lebih baik. Tidak ada jalan keluar yang mudah untuk menyelamatkan kota tercinta kita, Jakarta. Ancaman pertama yang mampu menenggelamkan Jakarta disebabkan oleh efek rumah kaca yang diakibatkan oleh polusi pembakaran minyak bumi. Dalam rentang 100 tahun terakhir, suhu udara di Jakarta ternyata sudah naik kurang-lebih 1,4°C, lebih tinggi dari kenaikan suhu rata-rata bumi yang hanya 0,7°C. Suhu yang lebih tinggi bukan hanya sekadar mengganggu kenyamanan kita, tapi juga dapat mengundang lebih banyak penyakit, mulai dari kram, flu, demam berdarah, sampai stroke. Selain efek pemanasan global, kenaikan suhu Jakarta juga disebabkan karena kepadatan penduduk, berkurangnya lahan hijau, dan lahan aspal yang terlalu dominan. Lebih jauh lagi, saya menemukan efek lanjutan dari pemanasan global adalah naiknya permukaan air laut. Seperti yang kita tahu, bongkahan es di kutub bumi terus mencair dan menyumbang lebih banyak volume air di lautan. Pencairan itu juga membuat air laut jadi semakin hambar, dengan demikian massa air laut menjadi semakin ringan dan membuatnya semakin cepat menguap ke awan. Pada akhirnya, curah hujan akan menjadi semakin tinggi dan lagi-lagi berujung pada ancaman banjir. Belum lagi air laut yang semakin hambar akan menyebabkan perubahan arus laut yang secara tidak langsung mengakibatkan perubahan cuaca dunia. Ancaman kedua yang mampu menenggelamkan Jakarta adalah penurunan permukaan tanah. Ya! Permukaan tanah ternyata juga bisa turun. Jakarta resmi menjadi salah satu kota dengan laju penurunan muka tanah yang paling cepat di antara 530 kota di dunia. Dalam 30 tahun terakhir, diperkirakan daratan Jakarta turun hingga 4,1 meter. Di beberapa titik Jakarta, bahkan penurunan muka tanah bisa mencapai hingga 18 cm/tahun. Apa yang menyebabkan penurunan muka tanah? Yang pertama karena beban bangunan yang semakin tahun semakin bertambah. Yang kedua dan merupakan penyebab utama adalah air tanah yang terus-menerus disedot tanpa terkendali. Tanah Jakarta bersifat lempung, oleh karena itu ketika airnya disedot, ia akan mengerut. Sedihnya lagi, bukan hanya rumah tangga yang rebutan memakai air tanah, hotel-hotel pun melakukannya. Padahal selain merusak alam, air tanah juga tidak melulu bersih. Sebanyak 28% air tanah dangkal Jakarta dinyatakan sudah tercemar bakteri E. Coli yang dapat menyebabkan diare dan gangguan perut lain. Saya jadi merinding. Uh, tidak terbayang bila saya harus sikat gigi menggunakan air tanah yang tercemar. Itu kan sama saja seperti mengundang jutaan bakteri jahat untuk berkembang biak di perut saya sendiri. Dilema pemakaian air tanah tidak berhenti di sini. Kita bisa saja mengkampanyekan gerakan anti pemakaian air tanah, namun pada kenyataannya air pipa olahan (air PAM) belum mampu mencukupi kebutuhan kota megapolitan ini. Tepatnya, air pipa baru dapat memenuhi 60% kebutuhan warga Jakarta. Penyebabnya? Lagi-lagi karena keterbatasan stok air karena sungai Jakarta sudah banyak yang tercemar. Dari belasan sungai dan kanal, yang sekarang bisa dipakai untuk PAM hanya asupan air dari Kalimalang dan Banjir Kanal Barat. Kok bisa tercemar? Karena buruknya pengolahan limbah buangan dan kebiasaan penduduk yang suka membuang sampah sembarangan di sungai. Bila masih ragu dengan kebenaran riset kecil saya, contoh nyata sudah bisa dilihat di Kampung Apung yang terletak di Kapuk, Cengkareng. Dulu area itu termasuk dataran tinggi. Namun sejak tahun 1990, daerah yang dihuni sekitar 118 kepala keluarga itu resmi mengalami banjir permanen setinggi 2 meter di musim kemarau. Semua disebabkan karena efek gabungan dari fakta-fakta di atas. Saya lihat, Pemda Jakarta sebenarnya tidak pasif melihat semua ancaman serius ini. Buktinya, wacana tentang pembangunan tanggul raksasa (giant sea wall) sudah mulai dibicarakan sejak awal tahun 2011. Begitu juga dengan proses reklamasi atau penambahan daratan buatan yang menjorok ke arah laut. Namun dari setiap rencana, pasti ada kelebihan dan kekurangan. Proses reklamasi sendiri sudah diprotes oleh banyak pemerhati lingkungan. Katanya, reklamasi tidak ada hubungannya dengan penyelamatan daratan Jakarta. Yang harus dilakukan sebenarnya adalah revitaliasi kembali hutan mangrove yang selama 20 tahun terakhir ini sudah dibabat hingga 1.153 hektar untuk pembangunan gedung. Adapun fungsi hutan mangrove adalah sebagai kawasan penyangga daratan dan daerah resapan. Sementara itu, tanggul raksasa memiliki masalahnya sendiri. Pembangunan tanggul sepanjang 32 km di Jakarta Utara tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dana yang diperlukan setidaknya mencapai 50 triliun rupiah, dan pembangunannya membutuhkan waktu antara 10-20 tahun ke depan. Saya jadi termenung usai mengadakan riset kecil saya. Sebenarnya apakah ada yang bisa saya lakukan sebagai warga sipil untuk membantu mencegah bencana yang sudah ada di depan mata ini? Pasrah dan menyalahkan pemerintah sepertinya bukan penyelesaian yang terbaik. Yah, saya rasa setidaknya kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Misalnya, membiasakan diri untuk membuang sampah pada tempatnya, bukan di sungai atau dilempar ke jalanan melalui kaca jendela mobil. Dengan begitu, setidaknya saluran drainase yang dari sananya sudah buruk tidak menjadi semakin parah dengan sumbatan sampah. Hal lain yang dapat kita lakukan adalah menghentikan penyedotan air tanah. Bila rumah kita sudah dilewati jalur PAM, maka pakailah PAM. Selain itu, kita bisa menghemat energi dan pemakaian air, serta membatasi pemakaian mobil. Sulit memang untuk mengubah kebiasaan. Namun bila tidak kita lakukan, apa yang akan terjadi di masa depan? Saya sendiri akan memulainya dengan efisiensi pekerjaan, misalnya membahas sesuatu lewat email atau teleconfrence ketimbang meeting bertemu muka. Sedih rasanya bila membayangkan tanah tempat saya dibesarkan akan hilang dalam rentang 40 tahun. Bayangkan bila tidak ada lagi Dufan atau Ancol. Bayangkan Monas berlumut direndam air. Bayangkan bila rumah tempat kita memupuk begitu banyak kenangan manis dan pahit tidak ada wujudnya lagi. Saya harap, saya tidak perlu mengatakan ini pada anak-cucu kelak: “Dulu Nenek tinggal di sana. Ya, di tempat yang sekarang kamu juluki kota air comberan itu”. Original Post : http://greenrepublic.wordpress.com/article/waterworld-jakarta/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H