Bag 3: Lain Ladang Lain Belalang
Dengan strategi yang saya susun seperti diuraikan di bagian dua tulisan saya, beberapa 'keberhasilan' awal bisa saya raih: mempunyai hubungan yang baik dengan asisten dan pemimpin praktikum. Hasilnya adalah saya diperbolehkan untuk membuat presentasi dan ujian dalam bahasa Inggris. Rekan-rekan kerja saya bersedia dimintai bantuan kalau ada terjemahan bahasa yang perlu dilakukan. yuhuu.....!!!
Persentuhan pertama merasakan perbedaan praktikum di Indonesia dan di Uni Karlsruhe adalah masalah kesehatan dan keselamatan praktikan selama di laboratorium. Sebelum praktikum resmi dimulai, ada kuliah kusus mengenai keselamatan kerja, yang isinya antara lain mengingatkan kembali para praktikan mengenai simbol-simbol yang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat bahaya bahan kimia (yang berlaku di eropa, bisa di klik di sini http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_R-phrases), bagaimana pertolongan pertama untuk kecelakaan ringan selama di dalam laboratorium, apa yang harus dilakukan segera apabila terjadi kebakaran, dimana letak tangga darurat atau telpon yang harus dihubungi dalam keadaan darurat. Untuk melengkapi teori yang dipaparkan dalam kuliah, diadakan latihan pemadam kebakaran. Setiap peserta praktikum diberi kesempatan menggunakan gas untuk memadamkan kebakaran. Sebelum praktikum, peserta harus membuat jurnal yang berisi sebagian besar adalah karakteristik dari bahan kimia yang dipakai : resiko yang mungkin terjadi dan apa yang harus dilakukan jika tertelan, terhirup, tersentuh kulit atau pun kereaktifan bahan kimia di udara. Dalam periode ini saya menjadi tidak heran lagi mengapa masalah keselamatan kerja menjadi hal yang sangat penting di Jerman (banyak orang memang mengeluh, Jerman adalah negara dengan berbagai peraturan yang terlalu berlebihan). Membaca berita-berita jatuhnya pesawat-pesawat TNI akhir-akhir ini (yang nota bene seharusnya kelompok yang sangat disiplin), saya menjadi tercenung, inikah salah satu alasannya: kurangnya disiplin menangani masalah keselamatan kerja di Inodnesia? Salah satu tulisan di sini berisi gugatan seorang pilot yang berawal dari penolakan pilot tersebut untuk menerbangkan pesawat MD-82 karena berdasarkan laporan, lapangan udara yang dituju tidak siap menerima MD-82 sementara pihak manajemen meminta pilot tersebut tetap menerbangkan pesawat MD-82. Pengenalan awal mengenai keselamat kerja yang saya peroleh di awal praktikum dan membandingkannya dengan kondisi di Indonesia, mau tidak mau saya harus mengangkat topi untuk sistem di universitas karlsruhe (saya tidak tahu apakah di universitas lain di Jerman juga diadakan pelatihan keselamatan kerja).
Perbedaan lain yang saya rasakan adalah mengenai hubungan antara asisten dan praktikan. Sangat egaliter dan yang jelas, para asisten sedang menempuh S-3 sehingga pengalaman lapangan mereka bisa diandalkan. Selama kuliah di Indonesia, yang menjadi asisten adalah kakak kelas satu atau dua tahun di atas praktikan. Transfer pengetahuan antara asisten dan praktikan terjadi di sela-sela praktikum melalui diskusi yang sering dilakukan. Meski hanya dua orang asisten yang mendampingi 30 orang praktikan, saya merasakan cara ini cukup effisien. Sistem yang berlaku disini adalah semua pelarut yang digunakan harus melalui proses destilasi. Sistem ini membentuk kerjasama antar kelompok karena akan sangat tidak effisien bila setiap kelompok harus mendestilasi 10 pelarut yang digunakan selama masa praktikum. Solusinya adalah setiap kelompok cukup mendestilasi satu jenis pelarut yang cukup untuk seluruh kelompok yang menggunakan pelarut tersebut.
Meskipun sejak awal saya diterima sebagai peserta yang tidak bisa berbahasa Jerman, tetapi dalam prakteknya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan seperti yang sudah saya duga sebelumnya. Secara psikologis dalam keadaan tertekan (dan praktikum kimia = penuh tekanan) di mana waktu, ketepatan dan keselamatan kerja adalah faktor yang penting; orang akan cenderung menggunakan bahasa ibunya terutama apabila bahasa keduanya tidak dikuasai dengan baik. Dan itulah yang memang terjadi. Di awal-awal masa praktikum, saya tidak mengerti apa pun instruksi yang diberikan, tidak mengerti apa yang didiskusikan, tidak tahu apa yang harus saya kerjakan (saya tidak terlalu percaya diri untuk meminta penjelasan untuk seluruh peserta praktikum dilakukan dalam bahasa inggris). Jujur harus diakui, ada sedikit perasaan rendah diri yang saya rasakan : dari segi tingkat kesulitan, praktikum kimia di sini berbeda jauh dengan praktikum di indonesia yang pernah saya alami kurang lebih 10 tahun yang lalu selain itu sebagai mahasiswa S-3 (sementara S-2 & S-3 saya bisa dikatakan tidak berhubungan dengan kimia anorganik) mereka mengharapkan saya lebih berpengalaman dari peserta lain yang rata-rata adalah mahasiswa tahun ke-3. Dengan penggunaan peralatan secara seri (pipa saluran nitrogen, vakum agar dapat melakukan sintesis dalam keadaan vakum), kesalahan yang saya lakukan bisa mempengaruhi pekerjaan orang lain. Ketakutan untuk merugikan/mencelakakan orang lain membuat saya ragu untuk bertindak.
Selalu ada setidaknya dua respon untuk setiap masalah. Dengan semangat pantang menyerah, saya mencoba melakukan apa pun yang bisa saya lakukan, daripada hanya diam dan menjadi penonton selama 6 jam per hari, 4 hari per minggu. Pahit memang, tapi di minggu-minggu awal masa praktikum, yang bisa saya lakukan hanyalah mencuci peralatan gelas. Hanya itulah satu-satunya yang saya mengerti. Rasa malu, sedih, frustasi, marah pada diri sendiri, perasaan bodoh sudah tidak saya hiraukan lagi. Di masa-masa awal itu, segelas capuccino dan WC (ya, betul: WC!!!) adalah sahabat terbaik saya. Hanya di WC, saya merasa bebas sejenak dari tekanan yang saya rasakan selama praktikum. Saya butuh untuk menyendiri dan sesekali mengusap air mata yang hampir mengalir. Secara fisik, saya terserang sakit perut hampir setiap jam 11.00, satu jam sebelum praktikum dimulai. Takut, frustasi, panik.
Senja di apartemen selesai praktikum, sambil menatap botol bir kosong saya hanya bisa berharap untuk tidak menjadi pemabuk setelah masa praktikum ini lewat. Di akhir pekan ketika akhirnya satu minggu setidaknya terlewati, sambil menatap kebab saya mencoba bercanda dengan seorang kawan... ya setidaknya kalau toh tidak lulus S-3, saya punya pengalaman cuci-mencuci yang bisa diandalkan. Sambil mengunyah kebab, saya mendumal sendiri : "Siapa suruh datang ke Jerman? Enggak-enggak lagi deh bakalan mau hidup di negara yang bahasa pengantarnya bukan Indonesia atau Inggris! Kapok..ini akan jadi pengalaman terakhir! Dasar pasukan berani mati!" Tertawa bebas di akhir pekan setidaknya bisa menghapuskan gelisah sepanjang minggu...
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H