Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pulang Membawa Cinta (Senja di Pulau Pisang)

23 September 2010   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kala matahari tenggelam ke Barat, Timur pagi hari sedang berdiri di hadapannya dalam keheningan

(Gitanjali; Rabindranath Tagore)

[caption id="attachment_266704" align="aligncenter" width="300" caption="Senja yang menambat hati (koleksi pribadi)"][/caption]

Berdirilah di bibir pantai itu kala matahari terbenam, maka hadirnya senja bagai menunggu pagi tiba. Waktu seolah terhenti. Yang ada hanya deburan halus ombak, mengalun lembut bagaikan harmoni sebuah orkestra.

Bayangkan pasir putih yang terhampar, dengan laut biru yang berubah warna tembaga. Semua karena teriluminasi langit yang memerah saga. Di angkasa kepakan sayap-sayap camar membentuk formasi unik beriringan menuju sarangnya. Mereka ingin berlindung sementara dari pekatnya malam. Karena malam di Pulau itu adalah sebuah nyanyian sunyi. Hanya cahaya rembulan menerangi cakrawala, dan lampu neon berkelap-kelip dari rumah-rumah penduduk. Tak ada suara bising kendaraan, ataupun rentetan klakson yang memekakkan telinga. Seluruh aktivitas penghuni Pulau akan terhenti di kala senja. Kala kumandang Adzan Maghrib mengalun, nelayan menarik jaringnya dari gugusan ombak, layar-layar perahu pun tergulung di tiangnya.

Namun ketika malam beranjak, jukung-jukung kecil terlihat merayap beriringan mendekati gugusan ombak bagai anak-anak penyu yang menetas dari cangkangnya mencium anyir laut. Jadi senja adalah saat-saat kontemplasi. Saat penduduknya meresapi makna sunyi bukan sebagai sebuah keterasingan.

Dia telah jatuh cinta pada senja di Pulau itu sejak pertama datang belasan tahun silam.

“Aku tak hanya jatuh cinta pada senjanya,” dalihnya padaku. Aku suka sensasi Pulau ini jelasnya lagi. Di hamparan pasir putihnya ingin ku lukis segala resah, dan akan ku larung galau ini di gulungan ombak itu, kelakarnya dalam metafora.

Pulau Sumatera bagai bisa dijangkau (koleksi pribadi)

“Mungkin di pelabuhan itu akan Kau sandarkan sampanmu. Siapa tau lelaki pujaan itu muncul dari dasar laut itu,” godaku suatu kali sambil menunjuk ke sebuah dermaga terbengkalai.

Kala sore dermaga itu akan riuh suara anak-anak yang bermain ombak. Mereka berlompatan dari atas dermaga, berenang riang menuju pantai. Kami berdua menikmati keriuhan sore itu, duduk berdampingan di bibir pantai. Membiarkan ombak datang menjilati jemari kaki kami.

“Uh…mana mungkin ada pendekar berkuda dari tengah lautan,”gelaknya.

Aku hanya mencibir. Dalam hati sih, kamu belum tahu saja banyak cowok-cowok keren bak pendekar (hehehe,kalau yang ini hiperbola) di Pulau ini yang sedang menuntut ilmu di kota-kota Pulau Sumatera, bahkan di Pulau Jawa sekalipun. Biasanya musim liburan begini penduduk Pulau akan membludak, kebalikan dari Jakarta.

Namun aku tak sampai hati membayangkan gadis cantik, calon dokter di sebelahku ini akan disunting penduduk Pulau. Bak cerita-cerita novel saja, batinku. Kasianlah.

Menyaksikan dia berpeluh dalam perjalanan panjang kami demi menyambangi Pulau Pisang ini saja membuatku jatuh kasian. Tidakkah dia telah rela meninggalkan kenyamanan ibukota demi menemaniku menggali segala nostalgi masa kecilku di Pulau ini, ataukah untuk merajut ceritanya sendiri? Entah, siapa yang sanggup meraba takdir?

Untuk sampai ke Pulau Pisang ini jika kita berada di Jakarta saja, akan cukup menguras tenaga. Jika menggunakan kendaraan umum hampir tujuh belas kita baru bisa menginjakkan kaki di pantainya nan putih.

Dari Terminal Bus Gambir Jakarta, kita dapat menumpang Bus Damri. Membutuhkan waktu delapan jam perjalanan dari Gambir sampai Terminal Bus Rajabasa Lampung. Dari Terminal Bus Rajabasa Lampung, delapan jam lagi kita harus duduk di kursi penumpang bus yang keras dengan posisi duduk tegak. Yah, tak ubahnya duduk di Metro mini Itulah. Hanya saja sandaran kursinya sedikit lebih tinggi dan diberi sarung. Tapi tetap saja keras. Akan jadi sebuah siksaan jika kita tak menikmati perjalanannya. Hemm…paling nyaman menggunakan kendaraan pribadi memang.

Setelah delapan jam melewati jalan berkelok-kelok di daerah Liwa, dengan perkebunan kopi yang menghampar hampir sepanjang jalan, akhirnya bus akan tiba di Krui, Lampung Barat. Dengan menumpang becak kita dapat menuju Kuala, tempat pelabuhan jukung di Krui. Untuk mencapai Pulau impian itu masih ada satu jam perjalanan dengan perahu kecil bermotor. Wow… dari sinilah sensasi itu dimulai!

Pemandangan Pulau dari atas perahu (koleksi pribadi) Pesona di balik Pulau (koleksi pribadi)

Jika laut sedang bersahabat, perjalanan dengan perahu akan terasa lengkap dengan kehadiran gerombolan lumba-lumba yang berpacu dengan perahu. Pantai Krui yang berpasir putih dengan jejeran nyiur sepanjang pantai perlahan akan menghilang dari pandangan, samar-samar sebuah Pulau seolah akan muncul dari dasar Samudera Hindia. Yups…di belakang Pulau Pisang itulah Samudera Hindia terbentang.

Pantai nan putih bak permadani akan menyambut kita begitu turun dari perahu. Segala lelah akan terbayar tunai. Kita bisa memandangi Pulau Sumatera seolah terjangkau dalam selemparan batu saja. Bahkan suara klakson bus-bus trans Lampung-Bengkulu sayup-sayup terdengar. Tapi jika laut sedang bergolak, Pulau ini seolah tak terjangkau.

Kembali ke cerita sang tokoh.

Suatu sore ketika kami sedang menyusuri pantai dan menunggu pesona sunset dari kejauhan ku lihat sosok pria tinggi keren berkulit putih. Ku kenali dia sebagai bagian dari masa kanak-kanak itu. Dia telah tumbuh jadi pemuda yang keren dan berdada bidang. Aha, ini dia pendekar itu. Pendekar yang sedang menuntut ilmu di Pulau seberang itu, ku kenalkan pada sang calon dokter. Dan ku lihat binar itu dari empat bola mata di depanku. Binar itu menembus cakrawala dan menagih janji Tuhan (mungkin?). Bahkan sebuah pertemuan yang tak disengaja pun akan abadi terukir, jika itu memang janji-Nya. Cinta memang salah satu misteri, seperti juga rejeki, jodoh, dan kematian.

“Dia pendekar bukan?” godaku ketika cowok keren itu telah berbalik arah.

Dan wajahnya memerah, semerah senja. Sempurna sudah senja kami hari itu.

******

Beberapa tahun kemudian di pelaminan tempat sang dokter dan sang pendekar bersanding ku selipkan kartu kecil itu di tangan sang dokter. Terukir kata-kata sang pujangga…

Kekuasaan berkata kepada dunia,” Engkau adalah milikku.” Dunia mengurungnya sebagai tawanan di bawah singgasananya. Cinta berkata kepada dunia,”Aku adalah milikmu.” Dunia memberinya kebebasan. (Gitanjali; Rabindranath Tagore)

Yups…cinta tak memang tak mengenal kasta. Sang dokter yang terlahir, besar, dan melalangbuana di ibukota itu telah menambatkan sampannya di dermaga di Pulau itu.

#Ku persembahkan ini dengan sepenuh cinta, semoga cinta kalian langgeng#

Kebon Jeruk, 24 September 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun