Aku menyaksikan paras nan ayu itu duduk di kursi pesakitan dalam sebuah pengadilan politik yang sedang digelar. Bagiku pengadilan itu tak beda dengan sebuah drama kolosal. Ada raut-raut wajah yang haus publisitas, serta nada-nada mencemooh dan menggugat yang kerap terlontar. Paras nan ayu itu memang didaulat sebagai bintang utama. Sang sutradara entah siapa.
Dalam benakku endingsebuah drama biasanya seperti cerita-cerita heroik: kebenaran selalu menang. Kacamataku yang awam tak sanggup mencerna deras dan pekatnya arus yang sedang bergolak. Selalu ada grey areadalam dunia politik, itu yang takku pahami.
Paras ayu itu begitu tenang dan runtut menjawab setiap tanya. Tanpa ragu dan gugu. Tanpa ekspresi kuatir jika mahkotanya sampai terlepas. Tentu dia tak termasuk barisan yang berlomba mengejar tahta itu. Panggil saja dia Sri. Karena tokoh itu mengingatkanku pada seorang tokoh dalam dunia pewayangan: Srikandi.
Dewi Srikandi dalam dunia pewayangan menjadi suri tauladan prajurit wanita. Dengan Arjuna sebagai guru yang akhirnya menjadi suaminya,Dewi Srikandi sangat mahir dengan senjata panahnya. Hanya hidupnya berakhir tragis, terbunuh oleh Aswatama pada akhir perang Bharatayuddha.
Srikandi modern pun harus menghadapi pertempuran yang tak kalah panasnya. Dia harus menghadapi tuduhan yang cukup tendensius: menggelontorkan uang negara demi kepentingan pribadi dan golongan. Maka ketika bola panas itu mulai digulirkan, sundulan demi sundulan makin memojokkannya. Bahkanbahtera yang dinakhodainya dinilai melenceng. Kebijakan reformasinya dituding hanya melahirkan mafia baru. Begitu besarkah dosanya?
Tapi Sang Srikandi tak bersembunyi di balik mahkotanya. Dia hadapi segala tuduhan itu dengan jiwa besarnya. Bahwa ada situasi genting yang harus dihadapi ketika itu, hingga segala dilema harus disingkirkan. Karena hidup harus memilih, maka dia telah memilih. Memilih menyelamatkan kepentingan yang lebih besar. Karena setiap keputusan yang diambilnya akan berimbas pada 220 juta lebih jiwa di dalamnya. Satu langkah itu akan menentukan layu atau bertunasnya roda perekonomian sebuah negara. Maka dia harus punya ketegasan dan keberanian untuk bertindak.
Dan keberanian itu terpancar jelas dalam ruangan megah tempat drama kolosal itu digelar tempo hari. Ada hal-hal spiritual yang memberi kekuatan pada Srikandi. Sebuah tasbih yang terus dalam genggamannya, jarik (kain Jawa) milik Sang Ibunda yang telah tiada di dalam tasnya, juga tak luput dari genggamannya. Energi positif itu telah memberi Srikandi sebuah kekuatan. Seperti curahan hatinya pada sebuah media (Kompas.com 18 Maret 2010).
Mungkin kekuatan spiritual itu juga yang telah memberi Srikandi energi untuk merombak penyimpangan sekian lama di Departemen yang dipimpinnya, dengan kebijakan reformasinya. Terasa betapa kebijakan Srikandi itu telah membawa matahari baru bagiku dan teman-teman seperjuangan di instansi kami. Selama ini awan kelabu seolah enggan beranjak dari sana. Banyak aktivitas terselubung merajai. Tak ubahnya dengan dunia politik, ada juga grey areayang sulit dijamah hukum. Ketika hukum tak lagi sanggup bersuara dan nilai-nilai kebenaran menjadi relatif, maka apakah lagi yang tersisa?
Maka ketika kasusdi salah satu unit kerjanya itu menyeruak keluar, semua itu hanya fenomena gunung berapi. Bak gumpalan magma yang mengendap di dasar bumi, dia hanya menunggu waktu menyemburkan lavanya. Selama ini magma itu terkubur diam, karena celah-celah bumi tertutup. Eksistensinya tersembunyi. Reformasilah yang telah membuka tabir itu.
Jangan tanyakan perbedaan adanya reformasi itu pada mereka yang telah menggenggam dunia. Mereka yang telah berhasil menimbun pasir, akan merasa kebijakan itu justru ombak yang bisa menghancurkan istananya. Tapi bagi mereka yang selama ini tetap berjalan di relnya, maka kebijakan Sang Srikandi adalah angin surga.Â
Tapi asaku koyak ketika endingdrama itu tak seperti harapanku. Srikandi telah mengalah keluar arena, agar pertumpahan darah jangan sampai terjadi. Agar jangan sampai pedang itu terhunus seperti ketika perang Bharatayuddha pecah.Â
Betapa ironis ketika segala pengorbanannya terkubur hanya karena hegemoni sebuah kepentingan. Hanya karena ego pribadi dan golongan yang merasa terancam kekuasaannya. Agar kuku-kuku kekuasaan itu tetap dalam menancap.
Kini dengan legawa Srikandi telah meletakkan mahkotanya. Karena luasnya bumi khatulistiwa ini tak menyisakan tempat untuk dia. Begitu jauh dia harus mengayuh bahteranya, karena nun jauh di sana sebuah kapal raksasa telah menyiagakan tempat untuknya di sebuah dermaga. Walaupun bahtera yang telah menunggunya begitu megah, tapi kepergiannya menyisakan pilu bagi orang-orang yang mengenalnya secara dekat. Bagi mereka yang pernah di bawah garis komandonya, gebrakan telah itu merubah nadi kehidupan mereka.
Tak lama lagi tongkat estafet itu akan beralih tangan. Entah pada siapa. Tapi Srikandi telah meninggalkan jejaknya di sana, semoga jejak itu tak terputus. Agar matahari itu terus benderang, tak lagi tertutup awan kelabu. Agar gerbong itu terus berjalan di relnya., sehingga penumpang-penumpangnya tak kebingungan.
Selamat jalan Sri, bawa harum nama bangsa dalam bahtera barumu.
Kebon Jeruk, Mei 2010Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H