[caption id="attachment_317067" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: google"][/caption] "Berceritalah pada anak-anakmu saat mereka kecil, karena itu akan melekat erat dalam memori mereka. Berceritalah, karena itu berarti selembar kertas putih mulai tersketsa dan akan menghiasi dinding rumahmu. Abadi, jika tak ada tangan- tangan jahil yang mengotorinya"Â
"Aku enggak mau cerita Kancil dan Buaya lagi, Bu. Bosan." rajuk anaknya. Maka sambil menahan kantuk, dia membolak-balik buku dongeng itu. Tapi kantuknya semakin mendera. Akhirnya dia bercerita tentang seekor singa yang angkuh. Karena siang tadi dia sempat berkeliling menaiki becak, dia katakan ,"Singa itu pun menghentikan becak itu." Anaknya kembali berteriak,"Buu, di hutan enggak ada becak." Oh, baiklah tiba-tiba timbul idenya. "Ibu mau denger cerita gurumu di sekolah tadi." Diantara kantuknya dia mengusap-usap rambut puterinya yang telah duduk di kelas satu Sekolah Dasar itu. Meski baru kelas satu kadang menurutnya anaknya terlalu kritis  untuk usianya, sehingga tak jarang dia merasa terjebak dengan ketidak hati-hatiannya dalam memilih kosa kata dalam bercerita.
 "Bu guru tadi nggak cerita kok."Â
"Oh, terus ngapain tadi?"
 "Belajar aja."Â
"Hemm..."
 "Oya Bu, ibu Kartini dulu waktu zamannya sudah pintar ya? Wulan sekolah supaya seperti ibu Kartini?"
 "Iya, supaya pintar."
 "Kenapa kita harus pintar?"Â
Hooaam...dia mulai menguap panjang tapi pertanyaan Wulan nampaknya masih akan berlanjut, biasanya begitu. Dia akan berhenti bertanya, jika Ibunya berkata,"Ayo berdoa, waktunya tidur." Tapi kini belum saatnya.
 "Perempuan harus pintar, supaya bisa mendidik anak-anaknya."Â