Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Horor Menikam di Bis Kota

10 Februari 2011   04:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297312960150203196

Hari itu sepulang dari sebuah tugas kantor, aku melewati jalur yang tidak biasa. Ke arah selatan Jakarta. Kendaraan di jalan raya masih cukup lengang. Traffic jam belum dimulai. Belum ku katakan, karena tak lama lagi jika jam pulang kantor tiba, sudut-sudut jalan tikus di wilayah ini pun akan tumplek plek dengan kendaraan yang seolah berebut ingin segera tiba di rumah masing-masing. Dengan surat tugas di tangan, ingin ku nikmati sementara jalanan yang tidak macet dengan pulang lebih awal…asyiknya.

Ketika bis yang ku tumpangi memasuki Terminal Blok M, sempat terbersit keinginan menyelusuri rute-rute di seputar Terminal Blok M yang dulu pernah sangat akrab. Sepanjang terminal sekarang terlihat tertata cukup rapi dan apik. Tidak ruwet seperti dulu, di mana sepanjang jalan masuk banyak pedagang asongan nongkrong menjajakan barang mereka.

Aku teringat masa-masa remaja dulu (halah…lebay deh), ketika dengan teman-teman se-gank biasa nongkrong makan mie ayam di pojok sebuah jalan tak jauh dari sebuah toko buku besar di sana. Ingin juga sih ngubek-ubek toko buku itu lagi, tapi niat itu ku urungkan mengingat sebentar lagi kemacetan akan mengepung.

Segera setelah berganti bis menuju wilayah domisiliku, ku nikmati pesona pemandangan si sekitarku. Jangan bayangkan bak pesona sunset di pantai Sanur, karena Kau tidak mungkin bisa menghirup udara sepenuh rongga dada. Partikel-partikel debu memenuhi udara dengan asap knalpot mengepul. Namun jika Kau seorang humanis dan menyukai petualangan ala Tintin, maka naik bis kota adalah salah satu solusi. Hehehe. Sungguh, bagiku naik kendaraan ini bak memasuki aquarium mini dengan beragam tingkah polah pelakunya. Walaupun dari segi manusiawi bis ini bisa dikatakan melanggar HAM. Jalannya terbatuk-batuk memuntahkan knalpot hitam, dengan bangku penumpang nan keras dan bolong di sana sini. Suara kenek yang berisik menggaet penumpang, dan supir yang memaki-maki sesama supir yang meyerobot jalurnya. (Sori, sekedar curhat Pak Supir. Jangan Kau katakan, siapa suruh naik bis kota?). Tapi aku merasa rileks, setidaknya saat itu aku tidak harus berjibaku, bertarung menyetir di tengah semrawutnya Jakarta.

Roda bis mulai menggelinding perlahan. Naiklah seorang bocah perempuan. Dari rautnya, ku taksir masih remaja. Usia belasan tahun, mungkin. Pundaknya mencangklong sebuah tas tua. Dia mengenakan celana butut yang ujungnya terburai sobek menutupi sandal jepitnya. Aku menunggu. Menunggu apa yang dia tawarkan. Ternyata dia mengeluarkan kayu sepanjang telapak tangan dengan bulatan-bulatan logam terkait di ujungnya. Dan ketika instrument itu digerakkan, keluarlah bunyi itu…krinciing-krinciiingg. Sang pengamen mulai beraksi. Lagu pembuka adalah sebuah lagu wajib yang sudah familiar sejak zaman SD dulu…Padamu Negeri. Memoriku menari-nari, masa ketika hidup terasa begitu ringan, ketika dunia masih dipandang dalam kacamata hitam putih belaka. Dan kini ku tahu, ternyata dunia itu penuh warna: ada abu-abu, ungu, bahkan warna indigo yang dikaitkan dengan alam metafisis…sori melantur. Hehehe. Tapi…eits, tunggu dulu kenapa lama-lama nadanya terdengar ganjil di telinga? Oho, ternyata sang gadis menyanyikan lagu dengan tangga nada yang hampir seragam, tanpa fluktuasi. Oke, tidaklah perlu dibahas tentang tangga nada itu, penguasaanku tentang itu hampir tak ada bedanya dengan sang gadis. Bedanya sensor di telingaku amat jeli menangkap nada-nada yang sumbang. Tapi aku hanya penikmat, bukan pemusik. Untuk sang gadis ku hadiahi selembar seribuan rupiah. Itu karena belas kasihku, bukan karena keahlianmu ya, catat itu ya Dek…

Di lampu merah pertama, naiklah seorang lelaki setengah baya. Lagi, ku tunggu. Apa yang kau tawarkan Bapak? Dia mengeluarkan selembar kertas. Ups…apa ini? Apakah Kau akan menyodorkan catatan utang di warung sebelah rumah yang menumpuk, akibat harga-harga yang menggila? Oh, ternyata dia sang penyair itu. Bait demi bait terlontar. Mulanya terasa sejuk, lama-lama kata-kata itu terasa membakar. Ya, aku yakin akan membakar telinga-telinga yang disindirnya. Dia bilang, inilah negeri para dagelan itu. Ketoprak humor disuguhkan mengisi ruang publik kita, katanya. Ketika keadilan bisa dibeli dengan fulus, ketika kebenaran menjadi relatif… tunggulah kehancuran itu, sengitnya. Aku tersentak sontak. Tak ku duga orang-orang kecil sepertimu pun mengerti segala lakon itu Bapak. Untukmu ku berikan selembar dua ribuan. Terima kasih, ucapmu tulus. Sama-sama, semoga nurani Bapak akan terasah selamanya.

Bapak setengah baya turun, digantikan dua pria remaja. Aku beringsut ke sudut bangku. Ku tilik bangku di belakangku. Ternyata beberapa kosong tak terisi. Baru ku sadari ternyata bis kota yang ku tumpangi tidak terisi penuh.

Kedua remaja itu berdiri di samping pintu bis. Mereka berdua berambut gondrong, dengan tatto yang hampir memenuhi lengan. Seorang berpostur gempal dan pendek. Temannya jangkung dan ringkih. Sekilas ku tilik pria muda berpostur pendek itu matanya memerah dengan langkah agak sempoyongan. Kembali, aku menunggu. Si jangkung melangkah perlahan ke tengah penumpang, ke arah kami. Dia mengeluarkan kantong plastik dari saku celananya. Pasti bukan untuk menampung muntahannya kan?

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua, pasti pernah mendengar kata-kata ‘lapar’ bukan? Penguasa yang lapar, penegak hukum yang lapar, isteri-isteri penguasa yang lapar. Lapar, lapar, lapar. Apakah artinya lapar bagi mereka? Bagi mereka lapar adalah nafsu. Nafsu keserakahan. Namun bagi kami lapar adalah lapar dalam arti sebenarnya. Lapar ketika memang tidak ada lagi nasi yang bisa dimakan untuk mengganjal perut. Lapar adalah ketika kami harus mengais-ngais rejeki dari rasa kasian. Berilah kami rasa kasian itu Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang budiman…dari pada kami merampok atau mencopet.”

Ketika si jangkung berkeliling mendekati kami, si gempal menebarkan horor dengan kata-kata dan aksinya.Dia mulai mempermainkan sesuatu di ujung tangannya. Tebak apa? Silet. Silet yang biasa digunakan untuk mencukur segala bulu itu, kini menari-nari di tangannya. Pertama dia menggunakan silet itu untuk mengiris jemarinya. Kemudian lengannya, hingga akhirnya beralih ke wajah. Aneh, organ tubuhnya tidak bereaksi apa-apa. Kemudian..

“Bayangkan jika silet ini sampai menyentuh anggota tubuh Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua,” dia kembali mengintimidasi. Ku lirik sepasang pria dan wanita setengah baya di kursi sampingku. Wanita itu terlihat komat-kamit berdoa. Tuhan…maafkan aku, kali ini aku bukan tidak percaya dengan kekuatan doa. Maafkan jika aku mulai berimajinasi, andai saja aku punya keahlian bela diri… ciaat ciaat akan ku tekuk dua cecunguk itu. Kemudian akan ku ringkus dan ku giring ke pos polisi terdekat. Haiiyaa…

Tapi tak seorang pun menyodorkan recehannya. Hingga akhirnya sosok jangkung itu berdiri di samping kursiku. Ohh…berpikir-berpikirlah, apa yang harus ku lakukan? Refleks tanganku merogoh saku tasku… kosong. Recehanku telah ludes. Dia masih menunggu. Aku mulai panik, ku rogoh sisi dalamnya. Menyembullah selembar dua ribuan. Hopla…uang itu pun berpindah tangan. Si jangkung nyengir… senyum penuh kemenangan. Aku tertunduk lemas, ketika kedua orang itu meloncat bagai bajing ke luar bis kota. Seisi bis terdiam. Beberapa orang terlihat masih komat-kamit berdoa.

Sejenak tadi aku telah dihinggap dilema. Antara memberi atau menolak. Sumpah, aku tak rela memberi karena dipaksa. Walau mungkin saja dua orang itu memang sedang lapar dalam makna sebenarnya. Tapi intimidasi silet itu, cukup membuat pertahananku rontok. Ternyata aku cemen…hiks.

Walaupun telah ada himbauan dari pihak-pihak berwenang agar tidak memberi recehan kepada pengamen dan pengemis jalanan itu, tetapi kadang rasa iba lebih dominan. Mungkin seharusnya pemerintah sekarang tidak hanya melarang, tapi memberikan solusi. Memberikan keterampilan dasar yang memungkin mereka bertahan hidup. Tidak membiarkan mereka berkeliaran di jalanan. Jadi maafkan jika aku melanggar himbauan itu..

*******

Suara-suara ramai di belakang bis kami memaksaku untuk melongok ke belakang. Segerombolan pria mengejar kedua lelaki penebar horor tadi. Samar-samar dapat ku tangkap teriakan-teriakan yang penuh komando itu…

“Heiii…berhenti! Berani-beraninya kamu berdua memasuki wilayah kami.”

Kemudian suara gedebak-gedebuk terdengar ramai. Tapi kedua lelaki penebar horor nampaknya dapat meloloskan diri, ketika kemudian terdengar teriakan…

“Kejar-kejar. Tangkap mereka!”

Aku terduduk lemas di kursiku. Sebuah ironi telah dipertontonkan di depanku. Bagi sebagian orang, Jakarta adalah tambang emas untuk memenuhi pundi-pundinya, sementara bagi yang lain mungkin inilah miniatur neraka dunia itu. Ketika nyawa tak lagi berharga, demi memenuhi rasa lapar yang tak mungkin berkompromi. Di mana cinta kasih hanya tinggal slogan kosong, dan dibiarkan terbang bersama debu-debu jalanan. Ironis.

Sebuah catatan di bulan Februari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun