Petualangan hari ke-2
Siluet matahari siang itu menyeruak dari sela daun pintu yang terbuka. Sesosok pria kalem berkacamata tebal nampak khusuk di depan tumpukan buku di atas meja.Â
Peci yang biasa dikenakannya tergeletak di samping buku yang halamannya dibiarkan terbuka. Lelaki pecinta buku itu telah mengumumkan tekadnya,"Jika Indonesia belum merdeka, aku tidak akan menikah."
Â
****
Aku masih berdiri di depan jendela sebuah rumah panggung tak jauh dari jantung kota Bukittinggi, Sumatera Barat, sambil menatap kagum pada rumah yang tengah kupijak. Rumah panggung kokoh berdinding kayu dengan plafon anyaman rotan.
Selain rumah panggung sebagai rumah utama, ada beberapa bangunan di sekitarnya: paviliun, lumbung padi, dapur, kolam ikan dan istal tempat menambatkan kuda-kuda. Pemiliknya pasti orang terpandang pada zamannya, simpulku.
Kulempar pandangan ke bawah ke arah paviliun yang terpisah dari rumah utama. Bangunan satu kamar berlantai ubin itu disebut kamar bujang. Tempat tokoh besar dalam sejarah Indonesia pernah merajut hari-harinya.
Isinya sederhana saja. Hanya sebuah dipan kecil, lemari pakaian, dan meja belajar lengkap dengan kursinya. Kupejamkan mata, kubayangkan sang tokoh menghabiskan waktu berjam-jam membaca di meja itu.Â
Udara sejuk Bukittinggi mengembus, menghalau matahari menyengat hari itu. Sebuah kekuatan menarikku ke lorong waktu. Menghisapku.