Part 1
Lewat jendela pesawat, kulihat sepotong surga di bawah sana. Aku datang Ranah Minang, menapaktilasi jejak sejarah yang terputus.Â
*****
Begitu menginjakkan kaki di Bandara Internasional Minangkabau, hembusan angin laut seolah membisikkan nada nan rancak "Dindin Badindin". Telingaku ikut menghentak. Baru saja kaki ingin bergoyang, Teteh Wien, temanku seperjalanan segera menggamit lenganku. Kedua sahabat kami yang tinggal di tanah Minang telah melambai, memberi isyarat bergegas. Â
Setelah selesai dengan urusan bagasi, kami berdua segera menuju ruang tunggu. Dari kejauhan terlihat dua wajah yang dulu sempat begitu dekat dalam keseharian kami dan kini terpisah jarak ribuan kilo: Yuli dan Leni. Kami berempat berbagi pelukan dan bertukar cerita.
"Akhirnya sampai juga ya di Padang, setelah janji sekian ratus purnama,"Leni terkekeh.
Leni ini asli Minangkabau. Maka kepindahan dia ke Padang dari Jakarta beberapa tahun yang lalu, ibarat kembali ke pangkuan Ibunda. Kalau Yuli beda lagi ceritanya. Dia pindah tugas ke Padang karena menyusul suaminya yang lebih dulu bertugas di sana. Jadi, perjalanan kami ke Ranah Minang ini selain ingin menikmati eloknya alam Minangkabau yang tersohor, juga untuk mengunjungi dua sahabat kami yang sedang bermukim di sana.
Tapi aku mempunyai misi lainnya. Bagiku kata "Minangkabau" itu laksana sepotong nyanyian masa kecil. Dulu, almarhum Ayahku seringkali membentangkan selembar kertas coklat dengan tulisan tangan berisi silsilah keluarga kami yang disebutnya Tambo. "Moyang kalian itu asalnya dari Batusangkar," ceritanya berulangkali. Dan aku mulai membingkai kata "Batusangkar" dalam imajinasiku. Suatu ketika aku akan ke sana tekadku. Aku ingin melihat bumi di mana tokoh besar dalam sejarah kita dilahirkan, Sang Proklamator kita, Bung Hatta.
"Ayo ayo, kita ngisi perut dulu. Lapar nih sejam lebih di perjalanan,"Teteh segera mengingatkan.
Kami segera menaiki Suzuki XL7 hitam yang telah menunggu lengkap dengan sopir yang siap mengantarkan kami ke mana saja dalam 2 hari depan. Kami memanggilnya Bang Jon. Wajahnya tegas, postur tegap dengan kulit sawo matang. khas orang Minangkabau.
Empat puluh menit dari Bandara Minangkabau kami segera tiba di rumah makan yang kami tuju: Rumah Makan Pagi Sore. Rumah makan ini termasuk yang legendaris di Kota Padang. Tak ada cabangnya di Jakarta. Jadi mau coba masakannya, ya, harus sengaja datang ke Kota Padang.