Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Lombok: Ada Surga Tersembunyi di Sana (2)

29 Maret 2012   02:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:19 3498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanjung Aan: Tempat Untuk Melarung Resah

[caption id="attachment_178942" align="aligncenter" width="833" caption="Tempat melarung resah"][/caption]

“Kita ke mana setelah ini, Pak Taufik?” tanya Wanti, salah satu teman seperjalananku.

“Sudah lapar belum?” sang guide balik bertanya.

Serentak kami berempat menjawab lapar. Terang saja, sekarang hampir setengah dua waktu setempat. Sejak dari Jakarta perut kami hanya diganjal dengan sepotong roti saja. Waktunya makan siang.

Kami makan di sebuah saung yang cukup nyaman, dengan menuyang menggoyang lidah: ayam plecing -ayam berbumbu pedas-, ikan Marlin bakar –ikan berukuran besar, biasanya untuk diekspor-, dan capcay. Ditambah kerupuk dan segelas teh manis maka siang itu kami makan dengan lahap. Siap untuk petualangan berikutnya….

“Buka alas kaki kalian,” perintah Pak Taufik begitu kami sampai di pantai Tanjung Aan.

Apa? Ada larangan menggunakan alas kaki di sini kah? Oho, maksud Pak Taufik supaya kaki kami merasakan sensasi butiran-butiran pasir sebesar merica di pantai ini. Itulah kenapa penduduk Lombok menyebutnya Pantai Pasir Merica.

Sensasi pijatannya terasa di pusat-pusat syaraf telapak kaki begitu kami menyusuri pantai. Kami berlarian bagaikan “Bocah Petualang” begitu melihat pantai yang begitu menawan terhampar di depan. Ada perpaduan warna yang begitu cantik:pasir putih kekuningan karena diterpa sinar mentari membuat laut pinggir pantainya berwarna kehijauan sementara di tengahnya berwarna biru. Sungguh kontras. Waktu terhenti di sini, tanpa jeda. Kau bisa melarung resahmu di sini. Jauh. Hingga kembali ke titik nol. Dan awan yang bergelantung cantik di birunya langit, adalah tempatmu menggantung asa yang absurd pun. Well…surga dunia tersembunyi di sini.

Kemudian kau bisa mendaki bukit serupa semenanjung yang menjorok ke lautan, tangkaplah view yang membuatmu tak ingin beranjak pulang. Ombak yang menggulung menyebarkan buih di bibir pantai, serupa perawan menebarkan pesona pada jejaka. Jangan salahkan jika mereka tergoda. Tergoda sekedar menyelam pada beningnya lautan yang nampak hingga ke dasarnya, atau membiarkan adrenalin berpacu bersama ombak. Banyak peselancar mengadu nyali di sini. Kemudian mereka akan menenteng papan selancar itu mendaki bukit, menunggu datangnya senja. Senja di pantai ini pasti sempurna. Laut biru, pasir putih, dan langit biru yang perlahan akan berubah warna tembaga. Sementara mentari dengan rela menyingkir, memvisualkan kedigdayaan sang waktu. Ketak abadian, tentu saja.

Tapi guide kami mengajak berkemas. Katanya senja di pantai Senggigi tak kalah eloknya.

Kami memang memilih penginapan di pantai Senggigi, karena esok ada sebuah pulau tak jauh dari Senggigi menunggu kami sambangi.

Tapi banyaknya penduduk yang menjajakan dagangan di sepanjang pantai ini, sedikit mengusik ketenangan rekreasi kami. Mereka cukup agresif menjajakan barangnya. Bahkan setengah memaksa. Kain sarung bermotif etnis hingga kaos-kaos berlabel Lombok ditawarkan dengan harga cukup murah sebenarnya. Namun jika kita telah menawar pada salah satu pedagang, maka teman-temannya akan datang menyerbu bagai kawanan lebah…ups.

Seorang pedagang jadi marah karena kami tidak memilih miliknya. Saya tadi duluan katanya. Kemudian dia terus mengikuti kami hingga turun dari bukit itu. Bahkan seorang anak kecil yang nampak polos, terus menerus menguntit kami setelah melihat aku membeli salah satu gelang yang ditawarkan temannya karena kasihan. Padahal tidak yakin juga barang itu akan ku pakai. Masa gak kasihan sama anak kecil Bu, katanya memelas. Wah, modus operandi pengemis-pengemis cilik jalanan di Ibukota rupanya telah diadopsi juga.

Bagaimanapun kau tidak akan menyesal datang ke Tanjung Aan. Resahmu akan tertinggal di sini. Apalagi jika menghabiskan malam di sini, jauh dari keramaian dengan debur ombak yang terdengar, pasti akan jadi malam yang panjang.

Menurut Pak Taufik ada beberapa resort atau penginapan di Pantai Tanjung Aan. Tapi jangan bayangkan bagai penginapan di Kuta, Bali atau di Tanjung Lesung, yang mempunyai acara pesta-pesta di pinggir pantai. Penginapan-penginapan di Pantai Tanjung Aan, hanya menyediakan tempat untuk tidur dan menginap saja. Ada alternatif yang lebih menjanjikan yaitu menginap di pantai Kuta, tak jauh dari Tanjung Aan. Di sana ada sebuah hotel berbintang: Novotel.

Wow, Ada Bulan di Pantai Senggigi

[caption id="attachment_178943" align="aligncenter" width="501" caption="Senja di Senggigi"]

1332988045377361198
1332988045377361198
[/caption]

Kau akan merasakan geliat kehidupan malam di Senggigi. Alunan dan dentuman musik terdengar mengalun sepanjang malam dari café-café dan bar yang menjamur di pinggir jalan.

Dengan menggunakan cidomo, yaitu kereta kuda sederhana yang biasa digunakan untuk transportasi di Lombok kami menyusuri Senggigi malam itu. Sasaran kami hanya satu: menikmati sensasi ayam berbumbu pedas “Ayam Taliwang” yang terkenal itu. Pak Kusir memberitahu kami sebuah rumah makan yang tak terlalu jauh dari penginapan yang terkenal dengan Ayam Taliwangnya.

Rumah makan bernuansa etnis itu nampak romantis dengan cahaya lampu yang meneranginya. Cocok untuk candle light dinner…hemmm. Beberapa pasangan terlihat asyik menikmati sajian. Namun banyak juga yang datang rombongan seperti kami berempat.

Selagi menunggu hidangan datang, seorang ibu muda mendatangi kami menawarkan aneka asesories dari mutiara. Harganya beragam, dari bros-bros yang puluhan ribu Rupiah hingga cincin mutiara yang ratusan ribu Rupiah. Tapi karena kami telah diberitahu Pak Taufik jika esok kami akan diantar ke tempat pengrajin mutiara langsung, akhirnya kami menunda keinginan untuk memiliki barang-barang itu sementara waktu.

Mungkin ibu itu melihat keraguan kami, dia terus memprovokasi. Dia meyakinkan kami jika mutiara-mutiara itu asli. Yang murah ini mutiara air tawar jelasnya. Kalau yang mahal mutiara air laut. Bagaimana mengetahui mutiara itu asli atau tidak? Menurut Wanti coba gigit sedikit, jika ada nuansa pasir yang tertinggal maka itulah mutiara asli. Silakan, kamu yang coba ya Wan. Aku lebih baik menggigit Ayam Taliwang saja ah.

Ayam Taliwang,Plecing Kangkung, dan Sambel Beberok pesanan kami malam itu. Plecing ternyata merupakan nama masakan, sehingga dikenal masakan kangkung yang diberi/dimasak bumbu plecing, ayam yang dimasak plecing (ayam diberi bumbu pedas, didiamkan, dibakar/digoreng, kemudian diberi bumbu pedas lagi). Sambel Beberok adalah sambel yang dibuat dari irisan terong ungu, irisan bawang merah, irisan tomat dan cabe. Maka malam itu lapar kami tuntaskan.

Menginap di Senggigi memang pilihan yang tepat. Tak salah rekomendasi salah satu teman yang bertugas di Mataram. Dia bilang jika ingin mendapatkan penginapan yang asyik dengan view pantai yang keren, lebih baik menginap di Senggigi. Memang penginapan menjamur di sini, dari kelas melati hingga hotel berbintang.

Pasir putih di Senggigi dikelilingi hotel, losmen, dan bungalow. Sempurna. Banyak turis-turis mancanegara terlihat berkeliaran. Fakhri yang selalu antusias dengan postur bule itu dari awal sudah berbisik, Bunda aku mau photo sama bule. Ssst…nanti kita cari bule yang ganteng untuk photo ya. Hahaha.

Usai santap malam kami menyusuri pantai di sekitar penginapan yang belum sempat kami nikmati sejak tiba di Senggigi. Kami bahkan melewati sunset itu. Semua sibuk membersihkan diri setelah seharian berpeluh ria, apa boleh buat.

Pantai landai berpasir putih terhampar, diterangi cahaya lampu nan temaran. Kursi-kursi santai tersedia di sepanjang pantai. Kursi-kursi itu kosong. Turis-turis bule itu nampaknya lebih tersihir bergoyang di sebuah pub pinggir pantai dengan ritme musik yang mengalun dinamis menembus malam.

Kami bertiga segera menempati kursi-kursi yang mengundang itu. Fakhri mulai asyik bermain pasir. Dia mulai membentuk bangunan khayalannya. Akh, teringat masa kecil dulu. Bermain di pantai adalah salah satu favoritku. Aku bisa berimajinasi dengan bangunan khayali tanpa batas, hingga lelah itu datang.

Tapi sekarang ada yang lebih menarik untuk dinikmati. Malam di pantai, dengan hembusan angin laut yang membelai. Terasa sensasi itu, asin air laut yang menempel di ujung lidah. Malam yang langka, dengan bintang-bintang berpendaran di langit berhiaskan awan-awan tipis mengambang.

Ada bulan di ujung sana. Sayang belum purnama. Bulan sabit itu terasa bernyawa, mengajak berbincang. Apa lagi yang kau resahkan, sapanya. Toh hidup itu tak akan pernah sempurna. Tapi Kau punya ruang dan waktu yang tak terbatas. Tak seorangpun bisa memasung itu. Ruang dan waktu itulah milikmu. Kau punya kuas untuk menggoreskannya. Biarkan kuas itu menari. Menari menembus cakrawala. Bahagia itu di hati, Kau tak perlu terbang hingga ke bulan.

Kemudian hening. Aku tertegun. Siapa sedang berbincang dengan siapa tadi ya? Aku dengan bulan? Aku dengan saya, mungkin? Intinya bulan telah menyuarakan sebuah kebenaran, titik. Tapi hei, tunggu dulu kita belum selesai berbincang. Masih banyak tanya yang belum terjawab, tapi sebuah tangan kecil mulai menarikku ke pusat kesadaran.

Bun, itu ada bule, photo dong rengeknya. Fakhri menagih janjinya. Aku lihat ada seorang bule yang cukup berumur sedang duduk sendirian. Karena tak nampak si tampan di sini, kakek itu pun tak apalah. Toh buat Fakhri esensinya adalah photo dengan bule. Hehehe.

Saya sapa seramah mungkin…

Hello sir, would you mind to have a picture with my son, please?

“Oh, tentu saja,” jawabnya.

Wow, ternyata dia bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Jepret…jadilah photo Fakhri and si Mr. (^0^)

Gili Trawangan: Pulau Kecil Bernuansa Pesta

[caption id="attachment_178944" align="aligncenter" width="478" caption="Gili Trawangan"]

1332988090505722372
1332988090505722372
[/caption]

Esok harinya, dimulailah petualangan panjang kami di Lombok. Kami akan menyeberangi Selat Lombok menuju ke sebuah pulau kecil: Gili Trawangan!

Gili Trawangan adalah pulau yang terbesar dari kedua pulau kecil lainnya atau gili (Gili meno dan Gili Air) yang terdapat di sebelah barat laut Lombok. Trawangan juga satu-satunya gili yang ketinggiannya di atas permukaan laut cukup signifikan. Dengan panjang 3 km dan lebar 2 km, Trawangan berpopulasi sekitar 800 jiwa.

Sebelumnya Pak Taufik sudah mengingatkan jika angin musim sedang kurang bersahabat. Kalau angin turun, maka ombak akan besar katanya. Jika ombak besar, maka kami tidak akan bisa menyeberang dari Bangsal.

Bangsal adalah pelabuhan yang biasa jadi tempat bersandarnya perahu motor, ataupun speedboat yang akan menyeberang ke Gili Trawangan. Terus, enggak jadi nih ke Gili Trawangan? Ya jadi dong, Pak Taufik nyengir melihat wajah kami jadi tiba-tiba kuyu. Kita akan menyeberang lewat Sire, jelasnya.

Jika dilihat dari peta, posisi Sire itu memang paling dekat dengan ketiga gili itu. Kita akan menyusuri sisi-sisi pulau itu, jadi ombak besar terhalang pulau jelasnya lagi. Rasanya masuk akal, kami pun setuju. Butuh waktu kira-kira 45 menit dari Senggigi menuju Sire. Namun karena kami sempat mengabadikan pesona pantai Malimbu dengan berpotret ria, waktu akhirnya molor jadi satu jam.

Malimbu. Wow, bagi penggila fotografi pantai ini bisa jadi objek yang menawan. Akan jadi tempat yang ideal untuk mengasah kemampuan. Dari ketinggian kita bisa memandang laut biru dengan pasir nan putih, bagai lukisan dalam imajinasi. Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air terlihat seolah muncul dari dasar laut. Eksotis sekali.

Namun karena bergegas dengan waktu, kami tak sempat berleha-leha. Pak Taufik segera mengingatkan untuk bergegas. Cabuuut…

Jam sepuluh pagi, sudah banyak orang yang berkumpul di Sire untuk menyeberang. Pak Taufik segera menemukan rekanannya pemilik perahu motor yang akan menyeberangkan kami. Dia menyewa perahu motor khusus untuk kami. Selain kami berlima, sepasang muda-mudi juga ikut dalam satu perahu. Menurut Pak Taufik mereka pasangan penganten baru. Sepasang remaja itu nampak malu-malu ketika kami godaagar diambil posenya. Enggak usah Mba, jawab penganten wanitanya. Asyik sepertinya jadi penganten baru ya? Sudah lupa rasanya.Hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun