Yuyun dengan sigap mengambil pelampung dan mengenakannya. Eits, tunggu dulu Yun belum waktunya berenang cegahku sambil menarik tangannya. Oho, ternyata dia sekedar memakai pelampung untuk berjaga-jaga. Aduh, ombak ini enggak ada apa-apanya Yun, aku membesarkan hatinya. Karena dia tetap keukeh, akhirnya ku pasangkan Fakhri pelampung juga. Jika Yuyun yang mahir berenang gaya batu saja kuatir, aku perlu menguatirkan Fakhri yang sama sekali tidak mahir berenang. Tinggallah kami yang mahir berenang atau minimal punya nyali besar yang tidak ikut mengenakan pelampung. (Ahai, pliss ya Yun. hihihi).
Terdengar helaan napas lega dari segenap penjuru, ketika lambung perahu telah menggapai pantai. Hanya 25 menit waktu yang dibutuhkan dari pelabuhan Sire hingga ke Gili Trawangan. Kami sampai…halo, itukah pulau surga itu? Sambil melompat turun dari perahu, ku lemparkan sandal sejauh mungkin ke tepi pantai. Tak perlu alas kaki di sini.
Hufs…sebentar, biar ku nikmati sentuhan pasir nan halus di telapak kakiku, bagai sentuhan sang kekasih yang pernah mengisi malam-malam panjang tak bertepi. Akh, itu hanya sebuah personifikasi untuk menggambarkan sebuah surga di pulau kecil yang bernuansa pesta.
Lagi-lagi pasir putih dan laut biru bening yang kami dapatkan. Tapi ada lagi lainnya, tebak apa?
Banyak bule-bule berpakaian super minim melenggok santai bak di catwalk. Kok mereka enggak pakai baju Bunda, tanya Fakhri polos. Mereka kepanasan, karena biasa di tempat dingin jawabku sekenanya.
Sepanjang pantai di penuhi hotel, bungalow, maupun café-cafe dan pub yang dipenuhi turis-turis mancanegara. Mungkin perkampungan di Hawai sana seperti ini juga. Mereka yang enggan berjemur di pantai, berbikini ria di depan penginapan yang rata-rata memiliki kolam renang mini. Sementara musik mengalun dari café-café terdengar hingga di kejauhan. Bisa ku bayangkan bagaimana semaraknya pulau ini di waktu malam. Seperti gambaran Pak Taufik, malam di Gili Trawangan di penuhi pesta-pesta hingga pagi menjelang, wow!
Setelah menyimpan barang-barang bawaan kami di sebuah rumah makan yang ditunjuk Pak Taufik, kami berempat mulai menyusuri Pulau. Kendaraan bermotor tak diijinkan di sini. Hanya cidomo dan sepeda yang digunakan penduduk sebagai alat transportasi.Kami menyewa sepeda dengan tarif 50 ribu perjam. Tapi tak sampai mengelilingi seluruh pulau, kami kembali. Waktunya untuk snorkeling.
Hanya aku dan Wanti yang akan snorkeling, sedang Fakhri hanya berenang di pinggir pantai saja. Yuyun mengeluh pusing setelah menempuh perjalanan dengan perahu motor tadi. Sewa peralatan snorkeling perpasang 50 ribu Rupiah, jika membutuhkan instruktur maka kau bisa memberi tips serelanya. Wanti memberi tips tambahan 20 ribu Rupiah untuk instruktur yang mengajarinya. Cukup murahkan bukan? Dengan biaya sebesar itu kau bisa memandang dasar lautan, menyaksikan ikan-ikan kecil berenang di sela-sela karang cantik. Dan menyebarkan pakan, hingga ikan-ikan itu akan berkerumun. Bagaikan berenang dalam aquarium raksasa.
Mulanya Wanti emoh untuk berenang agak ke tengah, dia hanya bermain-main di gugusan ombak pinggir pantai. Snorkeling kok di tepi pantai, ledekku. Akhirnya setelah diyakinkan sang instruktur dia berani berenang ke tengah, bahkan ke tempat yang semakin dalam. Akhirnya rasa takut itu berhasil ditaklukkan.
Dengan snorkeling tak hanya resah yang akan kau buang ku rasa. Segala galau, gundah dan gulana itu akan sirna. Dia akan hanyut terbawa arus hingga ke dasar tanpa bekas. Bagai gerakan kurva, anggaplah petualangan ini sedang menuju ke titik nol untuk kembali bergerak ke atas…naik semakin tinggi.
Jam dua siang perahu motor kami meninggalkan Gili Trawangan menuju Lombok kembali. Ada yang tertinggal di sana, yaitu kenangan. Esok kami akan kembali menyusuri hiruk-pikuk Ibukota, tapi kebersamaan ini tak akan lekang. Seperti pulau-pulau itu dia akan tetap di sana hingga berpuluh tahun kemudian, hingga sang waktu berkehendak lain.