Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Lombok: Ada Surga Tersembunyi di Sana (1)

22 Maret 2012   05:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:38 2745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandara Internasional Lombok

[caption id="attachment_177722" align="aligncenter" width="558" caption="Bandara Internasional Lombok (sbr: google)"][/caption]

Lombok kami datang! Saat itu waktumu menunjukkan jam 11.50 WITA. Telah kami tempuh perjalanan panjang itu, demi menikmati pesonamu yang melegenda. Satu jam lima puluh menit dari Bandara Soekarno Hatta di Jakarta, terasa sekelebat saja. Terbayang lelah itu akan terbayar tunai.

Burung besi itu mendarat mulus, mencengkram erat pada bumi Seribu Masjid-Seribu Maling (oya, aku baru tahu julukan ini dari guide yang kami sewa, Pak Taufik namanya). Apa maknanya nanti aku ceritakan, sabar dulu ya.

Kami berempat mulai tak sabar, mencari batang hidung pejemput kami yang tak nampak. Tak ada nama kami di jejeran pejemput yang mengacung-ngacungkan karton bertuliskan nama-nama tamu mereka. Teman saya langsung menelepon nomor guide yang telah disediakan untuk kami. Saya sudah di dalam Mba, sahut pemilik nomor itu. Oho, kami telah menunggu Bapak di luar jawab teman saya. Rupanya kami selisih jalan.

Oya Bandara Internasional Lombok (BIL) ini diresmikan tanggal 1 oktober 2011. Banyak nama yang diusulkan untuk nama bandaramu ini, cerita mereka. Antara lain: Bandara Internasional Lombok, Bandara Internasional Sasak, Bandara Internasional Rinjani, Bandara Internasional Mandalika, Bandara Internasional Selaparang, Bandara Internasional Pejanggik,dan Bandara Internasional Arya Banjar rapuh. Tapi dalam jajak pendapat publik kalian sepakat menamai bandara kebanggaan ini dengan nama Bandara Internasional Lombok.

Meski  bandaramu masih seumur jagung dalam segi usia, tapi cukup megah untuk ukuran sebuah bandara. Semua tertata sempurna. Dinding-dinding bersekat kaca, memungkinkan cahaya matahari leluasa menembus ruangan. Hingga siang hari lampu-lampu tak perlu dinyalakan sepanjang hari. Aku pikir itu cocok untuk bangunan di daerah tropis, di mana matahari bersinar sepanjang tahun. Satu lagi, toilet yang tersedia cukup bersih dan terawat, itu yang penting. Karena tempat itu biasanya jadi kunjungan wajib setelah menempuh perjalanan panjang.

BIL ini dibangun di atas lahan yang cukup luas: 550 hektar. Mengambil posisi strategis di tengah Pulau Lombok, tepatnya di Tanak Awu, Kabupaten Lombok Tengah. Dari bandara kita bisa mencapai kota Mataram sekitar setengah jam perjalanan dengan mengendarai mobil. Menelan biaya pembangunan Rp. 625 milyar, kini Bandara Internasional Lombok yang menggantikan Bandara Selaparang Mataram ini telah jadi kebanggaan kalian.

Tak lama menunggu di pelataran parkir, sosok yang kami tunggu itu datang. Dia tersenyum ramah. Sosok yang bersahabat.

“Selamat datang di Negeri Seribu Masjid-Seribu Maling,” sapanya antusias.

Kami berempat saling berpandangan. Baru dengar julukan itu.

Ku Culik Anakmu, Kawinkan Denganku

[caption id="attachment_177732" align="aligncenter" width="528" caption="Perkampungan Suku Sasak "]

13323958381878971998
13323958381878971998
[/caption]

Pak Taufik membeberkan rencana petualangan yang akan kami lalui bersama selama dua hari ke depan. Pasti menyenangkan bertualang didampingi guide yang komunikatif seperti Pak Taufik dan seorang supir handal yang mendampinginya. Kami memang sengaja menyewa travel dengan pertimbangan agar leluasa menyusuri tempat-tempat yang ingin kami kunjungi. Toh setelah dikalkulasi jika kami harus menggunakan taksi biayanya akan lebih mahal, dan tempat-tempat yang dapat dikunjungi terbatas.

Sang guide membentangkan peta pulau Lombok di hadapan kami berempat. Karena posisi BIL ada di tengah-tengah, maka kita menuju ke arah selatan dulu, jelasnya. Kita akan ke  desa Rambitan/Sade dengan perkampungan Sasaknya kemudian lanjut ke Pantai Kuta/Tanjung Aan dengan semenanjung berbukitnya. Siip...setuju Pak.

Dalam perjalanan menuju desa Rambitan/Sade inilah Pak Taufik membuka rahasia sebutan Negeri Seribu Masjid-Seribu Maling ini. Menurutnya sebutan ini tak lepas dari tradisi yang masih melekat hingga kini dalam Suku Sasak, yaitu tradisi pria Sasak menculik gadis yang dicintainya untuk dinikahi. Jadi Lombok selain terkenal dengan jumlah Masjidnya yang sangat banyak, juga tradisi culik-menculiknya yang bertahan hingga kini.

Wow, adat itu masih bertahan sampai kini, tanya kami bertiga serempak. Pak Taufik mengangguk. Si kecil Fakhri –my kid- nampak asyik memperhatikan kerbau-kerbau yang sedang merumput. Kenapa di sini banyak anjing, tanyanya lugu pada Pak Taufik. Itu anjing-anjing tak bertuan, siapa yang sering memberinya makan maka dia akan berkeliaran di halaman rumah itu jelasnya.

Sepanjang jalan menuju perkampungan Sade mata kami dimanjakan lanskap yang memukau. Bukit-bukit menghijau, dengan sawah dan padang rumput terbentang. Salah satu surga dunia itu ada di sini.

Merunut sejarah Suku Sasak berasal dari keturunan Austronesia yang bermigrasi dari daratan Asia sekitar 5.000 tahun SM. Saat ini 85% populasi Lombok adalah Suku Sasak. Mayoritas mereka pemeluk agama Islam, meski pengaruh budaya Bali masih tetap kental. Bisa dilihat dari keyakinan Waktu Telu yang banyak dianut mereka, yaitu kepercayaan Islam yang memiliki unsur-unsur Hindu, Buddha, dan kepercayaan tradisional kuno lainnya. Tetapi di perkampungan Sade ini sebagian besar penduduknya telah melaksanakan ajaran Islam dengan shalat lima waktu. Yang kami dengar keyakinan Waktu Telu ini masih banyak bertahan di Desa Bayan, Desa Sasak paling kuno yang berada dekat kaki Gunung Rinjani.

Dari kejauhan terlihat perkampungan Sasak dengan rumah-rumah beratap alang-alang atau rumput gajah berjejer simetris nampak harmonis menyatu dengan alam.

Ketika sampai di gerbang masuk desa Sade kami berempat disambut seorang pemandu wisata, pemuda asli Suku Sasak. Panggilannya Naff. Dia cukup tampan dan nampak terpelajar.

Setelah mengisi buku tamu dan mengisi kotak amal, Naff mulai membawa kami menjelajahi perkampungan Sade.

Kamu masih sekolah Naff, tanyaku. Dulu saya sempat kuliah di Mataram, tapi tidak sampai selesai ceritanya. Kamu sudah menculik gadis, tanya saya iseng. Baru saja, jawabnya tersenyum penuh makna. (Kemudian imajinasiku mulai terbang, andai Sean Connery yang macho itu asli Suku Sasak entah berapa banyak gadis yang akan minta diculik. Hehehe)

Menurut Naff salah satu ciri seorang gadis siap diculik adalah jika dia sudah mahir menenun. Mungkin jika dianalisa dari sudut pandang ekonomi seorang gadis yang telah pandai menenun, diharapkan dapat membantu menggerakkan roda perekonomian keluarganya kelak. Berarti emansipasi itu telah merasuk dalam kehidupan Suku Sasak yang masih tradisional pun.

Naff membawa kami melihat kain-kain hasil tenunan perempuan Sasak. Harganya beragam. Dari yang puluhan ribu Rupiah hingga ratusan ribu Rupiah. Kain-kain sarung bermotif sederhana cukup murah, sekitar 20 ribuan, tetapi tenunan ikat yang bermotif etnis harganya sampai ratusan ribu Rupiah.

Selama berkeliling kami jarang melihat lelaki Sasak berkeliaran. Mereka di ladang, jelas Naff. Mereka hidup dari bertani, berternak, menangkap ikan dan menenun. Kebanyakan mereka menanam padi dan palawija di sawah dan ladang.

Rumah tradisional Sasak dibangun dengan dinding terbuat dari anyaman bambu dengan atap menukik ke bawah yang disusun dari alang-alang. Sedang lantai rumah mereka menggunakan tanah yang dicampur batu bata, getah kayu pohon serta abu jerami.

Naff mengajak kami ke sebuah rumah yang lantainya telah diolesi dengan kotoran sapi atau kerbau. Apa enggak bau ya? Oh, kotoran sapinya telah dihaluskan dan dibakar, terang Naff. Bagaimana dengan shalat, bukankah kotoran itu termasuk najis? Kami menggunakan tikar sebagai alasnya, terangnya lagi. Bagi Suku Sasak campuran kotoran sapi atau kerbau diyakini dapat menjaga lantai tidak mudah lembab dan retak.

Karena pintu rumah yang pendek, maka ketika masuk kami harus merunduk. Itu ada filosofinya. Mereka meyakini posisi merunduk saat masuk ke dalam rumah menjadi simbol rasa hormat tamu kepada sang pemilik rumah.

Arsitektur rumah tradisional Sasak ini sederhana sekali. Keseluruhannya hanya disekat dalam tiga ruangan utama: ruang tamu, bale luar, dan bale dalam. Bale luar digunakan untuk tempat tidur anggota keluarga. Bale dalam untuk menyimpan persediaan makanan dan harta benda keluarga. Jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, maka akan disemayamkan di bale dalam ini sebelum dimakamkan.

Bagaimana Suku Sasak ini tetap mempertahankan adat-istiadat mereka ditengah modernisasi yang mulai menggerus nila-nilai tradisional, menarik untuk dipelajari. Mereka tidak menutup diri dengan perubahan, buktinya mereka tetap menyekolahkan anak-anak mereka. Tapi kadang keterbatasan ekonomilah yang jadi penghambat, seperti cerita Naff di atas.

Sebelum meninggalkan perkampungan Sasak kami berempat sempat berpose dengan Naff sang Pemuda Sasak. Berharap suatu ketika akan kembali ke sini.

[caption id="attachment_177725" align="aligncenter" width="557" caption="Dengan Naff -Pemuda asli Sasak-"]

13323945651019487658
13323945651019487658
[/caption]

Jakarta, 22032012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun