Semoga tidak terlalu telat untuk menulis masalah ini.
Sama seperti halnya Angelina Sondakh, aku pun jika ditanya apakah aku mengenal istilah 'apel malang', 'apel washington' dan 'semangka' aku pun akan menjawab TIDAK. Tetapi jika aku ditanya apakah aku mengenal istilah 'apel ijo', 'apel merah' dan 'jeruk' maka aku tak akan berkelit ataupun berbohong seperti yang telah dilakukan Angie.
Jika 'apel' versi Angie bermakna sesuatu yang enak dan menguntungkan. Tak begitu dengan 'apel'ku. Karena 'apel'ku bukanlah 'apel' milik angie. 'apel' yang ku kenal adalah sesuatu yang menuntut kami untuk mengakui kesalahan, sebagai ajang silaturahim antara adik dan kakak tingkat dan tentunya sebagai tempat sharing.
Ketika aku menyaksikan persidangan yang menghadirkan Angelina Sondakh sebagai saksi, sempat terlintas dibenakku, apa seharusnya setting persidangan ini dibuat seperti halnya ketika kami diberi 'apel'?
Karena dalam 'apel'ku dapat dipastikan seorang tersangka akan mengakui kesalahannya, termasuk untuk mengakui akan kepemilikan sebuah telpon seluler yang diharamkan untuk dibawa masuk ke asrama.
Bicaralah Angie. Bicara akan kebenaran. Kami menunggu.
Jangan khawatir, mengakui sebuah kesalahan tidak akan serta merta membuatmu hina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H