Radiografer adalah tanaga kesehatan yang mengemban tugas dan tanggung jawab dalam melakukan kegiatan radiografi imejing, dengan upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan penunjang dan rujukan yang menggunakan sumber radiasi pengion dan nonpengion. Adapun tugas dan tanggung jawab radiografer secara umum meliputi pemeriksaan pasien dengan radiodiagnostik dan imejing, melakukan teknik penyinaran radiasi pada radioterapi, melakukan tindakan jaminan mutu peralatan radiografi.
Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah integral dari satu organisasi sosial dan kesehatan yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan komprehensif (paripurna), kuratif (penyembuhan) dan preventif (pencegahan) kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan, dan menyediakan pelayanan rawat inap, jalan, dan gawat darurat.
Pelayanan radiografer di rumah sakit meliputi penerimanaan permintaan pemeriksaan, menerima dan melaksanakan administrasi dan memberikan penyuluhan kepada pasien dan wali, serta melaksanaan pemeriksaan radiologi sesuai dengan yang diminta. Selain itu juga melakukan pertolongan pertama pada pasien gawat darurat, interpretasi hasil radiografi, identifikasi registrasi dan penyampulan juga menyerahkan hasil foto radiografi kepada pasien dan dokter pengirim.
Banyaknya tugas radiografer tersebut berbanding terbalik dengan banyaknya tenaga radiografer di Indonesia. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.81/MENKES/SK/2004 tentang penyusunan   perencanaan SDM kesehatan, dilakukan dengan menggunakan metode Workload Indicator Staff Need (WISN), di mana WISN adalah perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan beban kerja. Kurangnya SDM ini akan menimbulkan berbagai masalah yang salah satunya adalah waktu tunggu di Instalasi Radiologi, serta menjadikan pelayanan yang dilakukan kurang optimal. Kurangnya sumber daya radiografer dengan beban kerja yang lebih banyak membuat terjadinya pembagian waktu yang tidak efektif.
Sampai saat ini masih dibutuhkan lebih banyak tenaga radiografer, menurut penelitian yang dilakukan di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten Batang masih banyak dibutuhkannya tenaga kerja radiografer guna mencapai standar beban kerja menurut aturan Kemenkes No. 81 Tahun 2004 (Felayani et al., n.d.). Selain itu, dari penelitian ini juga didapat bahwa adanya kekurangan tenaga kerja radiografer di Indonesia selaras dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Islam Bogor Tahun 2020 dengan kesimpulan bahwa dampak dari kurangnya radiografer adalah kualitas pelayanan kesehatan dan tidak adanya waktu tunggu hasil foto rontgen pasien (Zavihatika et al., 2020).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan judul Analisa Kebutuhan Tenaga Kerja Radiologi Dilihat dari Beban Kerja di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Bogor Tahun 2020, dalam pelaksanaannya masih ada beberapa petugas yang merangkap pekerjaan diluar uraian tugas yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja radiologi pada rumah sakit tersebut yang mengakibatkan terjadinya pelayanan yang kurang optimal (Zavihatika et al., 2020). Sumber daya manusia dalam unit radiologi ini membutuhkan waktu kerja dan beban kerja yang standar. Inilah yang berdampak pada waktu tunggu pasien di instalasi radiologi juga kualitas pelayanan dan kepuasan pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurul Latief dan Winda Lestari (2019), dapat diketahui bahwa radiografer di Rumah Sakit St. Carolus memiliki waktu kerja yang tinggi hingga membuat radiografer mengeluhkan kelelahan, khususnya saat ada kenaikan jumlah pasien dari 3.018 menjadi 3.610 pasien yang membuat beban kerja radiografer meningkat. Penelitian yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad ditemukan bahwa satu orang radiografer memiliki tanggung jawab untuk mengoperasikan 3-5 alat per shift hingga ia merasa kelelahan atas tanggung jawab kerja yang tidak sesuai dengan standar pelayanan radiologi (Suwanda, 2021). Rasa kelelahan yang dialami radiografer akibat dari ketidakseimbangan antara banyaknya radiografer dan pasien yang harus ditangani memicu berbagai dampak tidak hanya bagi radiografer itu sendiri bahkan bagi pasien dan instalasi radiologi dan rumah sakit.
Dampak kelelahan yang terjadi akibat ketidakseimbangan beban kerja bagi radiografer adalah penurunkan prestasi kerja, meningkatkan kesempatan terjadinya kecelakaan kerja yang merugikan pasien, radiografer, juga perusahaan yang dinaungi.
Peningkatan kinerja dapat dilakukan dengan memberikan beban kerja yang sesuai dengan kesanggupan dan aturan yang ada. Hal ini dapat diimplentasikan dengan menunjuk seorang petugas administrasi yang hanya mengelola pendaftaran tanpa adanya beban untuk mengerjakan tugas lainnya.
Dengan kasus-kasus ini, diharapkan adanya evaluasi terharap beban kerja tenaga kesehatan khususnya radiografer dari masing-masing instalasi. Pemerataan SDM radiografer juga perlu dilakukan pemerintah agar terjadi keseimbangan antara jumlah pasien dan radiografer. Pemberian apresiasi bagi tenaga radiografer atas prestasi yang diraih juga merupakan langkah yang dapat dilakukan instalasi untuk meminimalisir burnout pada radiografer (Astuti et al., 2022).
Â