Berbagai penelitian yang menegaskan berbagai konsep dasar dan diskusi-diskusi yang berjalan di media mengungkapkan, ‘hukum pukul hanyalah bagian kecil dari konsep dasar hukuman dalam lingkup ganjaran. Namun yang menjadi persepsi umum adalah bahwa hukuman adalah hukum pukul. Mereka lupa dengan bentuk hukuman lainnya. mereka telah mempersempit definisi yang sebenarnya sangat luas; dan memperluas apa yang sempit, yakni hukum pukul itu sendiri. Mereka menggeneralisir suatu bagian kecil; padahal dalam konsepnya, penggunaan bagian kecil itu diatur dengan syarat dan batasan tertentu; dengan tetap memperhatikan kondisi yang melingkupinya dan aturan yang mengaturnya. Bila manfaat yang diharapkannya tidak bisa terjadi, maka hukuman ini pun hendaknya ditiadakan sebagai satu bentuk hukuman dan proses pendisiplinan dalam dunia pendidikan. baca juga: jasa supir
‘Hukuman merupakan pintu masuk negatif dalam dunia pendidikan; hukuman hanya akan menghancurkan kepribadian dan membuat anak hidup dalam kegelisahan, tanpa semangat, kegagalan dan lain sebagainya. Terlalu menyandarkan diri pada bentuk hukum pukul menjadi bukti akan kegagalan kita orang dewasa dalam memilih sarana yang sesuai dalam mengubah perilaku anak.” Hasan Asymawi mengungkapkan, ‘tongkat dan ucapan pedas tidak sekalipun membentuk individu yang baik; namun hanya membentuknya menjadi seperti seekor kera yang terlatih; yang bisa disuruh kapan harus bergerak dan kapan harus diam. Namun yang kita inginkan, anak tumbuh secara manusiawi; dan bukan manusia yang bertingkah seperti seekor kera. paket wisata singapore Secara konsep dasarnya, hukuman bertentangan dengan kemuliaan manusia. Sedangkan mereka yang berlandaskan ayat dan hadits yang mendukung legalisasi hukum pukul lupa akan banyak hal. Ayat dan hadits yang dimaksud adalah: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaknya kamu beri nasihat kepada mereka; tinggalkan mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka” (QS an-Nisaa: 34) Diriwayatkan dari Anas bahwa nabi saw. bersabda, “perintahkan anak kalian shalat di kala berusia tujuh tahun dan pukullah –bila tidak melakukannya- di kala mereka berusia sepuluh tahun” (HR. Daruqathni). Sedangkan yang dilupakan oleh mereka adalah sebagai berikut, Bantahan atas penggunaan hukum pukul o Ayat tersebut berkaitan dengan pembangkangan wanita dewasa. o Hukum Pukul pada ayat tersebut didahului dengan tahapan yang semestinya. o Hukum pukul pada ayat tersebut lebih diarahkan untuk pengarahan perilaku bukan untuk menjustifikasi kesalahan. o Hukum pukul tersebut adalah hak dengan beragam syarat yang mengikatnya dan bukan suatu kewajiban. o Hukum pukul tersebut ditujukan untuk terapi diri dan bukan untuk menyulitkan. o Rasul saw sendiri –yang merupakan teladan- tidak pernah menggunakan pukulan.o Rasul saw menunjukkan sikap negatif dengan menyebutkan orang yang menerapkan tindakan pukulan, dengan menyarakan, “mereka bukanlah orang-orang terbaik di antara kalian” Syarat memukul anak kecil Dalam bukunya Risaalatu Riyaadhatu Shibyaan, Syamsudin Al-Bani memaparkan cara yang harus dipenuhi ketika hendak memberikan hukum pada anak, yaitu memukul anak kecil : o Pukulan diberikan dengan jeda; yakni tidak dilakukan secara terus menerus. o Ada fase antara satu pukulan dengan pukulan lain untuk meringankan rasa sakit. o Jangan memukul lengan agar tidak menambah rasa sakit. o Jangan memukul ketika pendidik sedang marah sebagaimana ketika Nabi saw melarang seorang hakim mengadili ketika ia sedang marah. Larangan ini pun berlaku untuk pendidik anak. Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan asistennya untuk memukul seseorang, ketika perintah tersebut akan dilakukan, Umar bin Abdul Aziz malah memerintahkan untuk menghentikan dan membuat orang-orang heran. Beliau berkata, “Aku sedang marah dan aku tidak suka memukul ketika sedang marah.” o Jangan memukul, jika anak mengingat Allah, sebagaimana hadits sebagai berikut, Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang dari kalian memukul pelayan, lalu ia menyebut nama Allah, maka angkat tanganmu! –yakni hentikan” (HR. Tirmidzi)
Pukulan pun harus dihentikan di kala anak merasa ketakutan. Hal ini menandakan bahwa hukum yang ada telah bekerja dampaknya hingga tidak diperlukan lagi. o Jangan memukul sebelum anak berumur sepuluh tahun. Sedang dalam hadits riwayat Tirmidzi dinyatakan berumur tiga belas tahun. Ismail bin Said berkata, Ahmad ditanya tentang masalah memukul anak dalam urusan shalat. Ia berkata, ‘jika sudah baligh –yakni berusia sekitar sepuluh tahun’. Atsram mengungkapkan, ‘anak dihukum sesuai kesalahannya dan jika pukulan tersebut memang diperlukan. Anak kecil yang belum berakal jangan dipukul sampai ia berumur tiga belas tahun, sebagaimana hadits sebagai berikut, Diriwayatkan dari Anas bahwa nabi saw. bersabda, “perintahkan anak kalian shalat di kala berusia tujuh tahun dan pukullah –bila tidak melakukannya- di kala mereka berusia tiga belas tahun” (HR. Tirmidzi). Syuraih berpendapat bahwa hendaknya anak tidak dipukul dalam proses pembelajarannya dalam memahami al-Qur`an, kecuali bila melewati tiga kali teguran. Hal ini selaras dengan yang terjadi pada malaikat Jibril dengan mengulangi perkataannya kepada rasulullah sebanyak tiga kali di gua Hira. Sedang Muhamad Khadr Husein menceritakan pengamatannya akan seorang pendidik yang tidak memukul anak didiknya dengan tongkat ditanggannya. Sang pendidik tersebut pun berulang kali mengingatkan untuk selalu bersikap lemah lembut kepada anak dan bila memang terpalsa memakul, maka hendaknya tidak memukul anak yang bersalah tersebut tidak lebih dari tiga kali dan tidak menggunakan tongkat dari kayu yang kering agar anak tidak terlalu merasa sakit.
Dari berbagai pendapat di atas dan dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang menyertainya, maka bisa disimpulkan bahwa siapapun yang dengan mudahnya memberikan hukum pukul tanpa konsisten dengan berbagai persyaratannya atau ia salah menggunakannya, maka sesungguhnya ia tidak layak menggunakan haknya tersebut. Berbagai penafsiran yang berhubungan dengan hukum pukul pun menyebutkan bahwa hukuman pukul tidak boleh diterapkan pada kesalahan pertama. Hukum pukul diberikan hanya jika kesalahan tersebut dilakukan berulang kali dan anak bersikap menantang untuk terus melakukannya. Juga setelah semua media sebelumnya dianggap gagal, yakni setelah pemberian nasehat dan pengabaian sebagaimana yang disebutkan dalam kitab fikih. Dari ayat tentang hukum pukul dipahami bahwa waw dalam ayat tersebut bermakna urutan. Selain itu pemberian hukum pukul pun hendaknya bertujuan untuk mendidik dan mendisiplinkan; dan bukan media untuk mengumbar emosi, kekejian apalagi untuk membalas dendam.
Hasan Asymawi mengungkapkan, ‘pemberian hukuman hendaknya bebas dari segala faktor emosi dan amarah. Tanpanya, hukuman akan menjadi satu bentuk balas dendam dan penghinaan; bahkan kriminalitas; bukan lagi menjadi satu hukuman murni’. Ia pun menasehati istrinya dalam mendidik anak-anaknya dengan mengatakan, ‘Hendaknya kau selalu ingat bahwa hukuman bagaikan obat yang pada dasarnya adalah racun yang membunuh. Oleh karena itu pemakaiannya hanyalah untuk hal yang darurat, seperti yang dilakukan dokter terhadap penggunaan obat.’ paket wisata singapura Selain itu, hendaknya kita tidak menggabungkan dua hukuman untuk satu kesalahan; seperti misalnya anak mula-mula dihukum di sekolah kemudian dihukum lagi di rumah. Hal ini akan menyebabkan hukuman keluar dari batas-batas pendisiplinan yang diperlukan. Untuk menerapkan suatu hukuman, seorang pendidik hendaknya mempertimbangkan dampaknya pada respon anak, perbaikan dan pengajaran. Jika hal ini tidak ada, maka buruk dan kasarnya perlakuan guru akan membuat sekolah seakan-akan pusat penyiksaan dan hukuman fisik. Akibatnya, anak akan kabur atau membolos sebagai cara untuk menenangkan kegelisahannya.” Selain itu hak pendisiplinan ini harus memberikan jaminan keselamatan. Referensi bacaan: Buku Tips Mendidik Anak Tanpa Pukulan, Muhammad Nabil Kadzim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H