Seiring dengan persebaran bahasa Melayu di Nusantara yang mungkin berlangsung sejak abad ke-7 M, tersebar pula sastra Melayu di Nusantara. Sastra Melayu pada mulanya merupakan tradisi lisan, yakni sastra yang dilisankan, dibacakan, dinyanyikan, atau didongengkan. Baru dalam perkembangannya kemudian, yaitu sekitar abad ke-15, sastra Melayu menjadi tradisi tulis. Yakni karya sastra yang ditulis, tidak hanya dilisankan. Di samping itu, sastra Melayu mula-mula bersifat anonim, tak diketahui penulisnya.
Pantun adalah sastra Melayu anonim, yang pada mulanya merupakan tradisi lisan, bahkan sampai sekarang. Diperkirakan muncul sekitar abad ke-14 atau abad ke-15. Pantun kemudian menyebar ke Nusantara. Sampai sekarang, berbagai daerah di Nusantara mengenal pantun. Pantun bahkan ditulis pula dalam berbagai bahasa daerah. Pantun bahkan dinyanyikan di mana-mana, dengan lagu yang berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain. Pantun merupakan puisi Melayu tradisional yang paling tua. Baru sejak abad ke-19, mulai dikenal penulis pantun. Tapi pantun pada umumnya tetap merupakan tradisi lisan dan anonim sampai sekarang.
Di antara sastra Melayu yang juga bersifat anonim adalah hikayat, misalnya Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiah. Diperkirakan, dua hikayat ini pada mulanya merupakan tradisi lisan, yakni kisah yang didongengkan kepada khalayak. Baru dalam perkembangkannya kemudian hikayat tersebut dituliskan, lalu menyebar ke Nusantara, tidak hanya dalam bahasa Melayu, melainkan juga dalam banyak bahasa daerah ---dengan berbagai variannya.
Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiah adalah satu kasus pergulatan dunia (sastra) Melayu dan kolonialisme di Nusantara. Hikayat ini populer di Melayu dan kemudian di Nusantara sebagai respons terhadap kolonialisme di Nusantara. Spirit dua hikayat itu adalah keberanian dan semangat perlawanan terhadap kolonialisme setelah Malaka (Malaysia) jatuh ke tangan Portugis di tahun 1511 (awal abad ke-16). Semangat perlawanan terhadap kaum kolonial dikobarkan melalui karya sastra (hikayat).
Penulis syair Melayu pertama, sejauh diketahui, adalah Hamzah Fansuri, ulama sufi yang hidup di Barus (Sumatera bagian utara) pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Dia menulis syair dan sejumlah kitab. Jadi, tradisi syair (dan puisi) dalam sastra Melayu (-Indonesia) dirintis oleh seorang ulama. Tidak mengherankan kalau syair-syairnya bertema keagamaan (Islam).
Pujangga yang juga penting dicatat adalah Raja Ali Haji. Di samping menulis banyak syair dan karya tulis lainnya, Raja Ali Haji juga memperkenalkan bentuk puisi baru, yaitu gurindam. Raja Ali Haji juga adalah orang pertama yang menyusun kamus bahasa Melayu dan tata bahasa Melayu. Dia adalah juga seorang ulama. Atas jasanya di bidang bahasa dan sastra dia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Syair Melayu kemudian berkembang dan menyebar ke Nusantara, dengan tema yang makin beragam. Mengikuti persebaran sastra Melayu, terutama syair, kita telah melancong ke Sumatera, Makassar, Bima, Jawa, Singapura, dan Malaysia. Begitulah kita telah melihat sastra Melayu dalam rentang waktu dari awal abad ke-16 hingga akhir abad ke-19, dalam bentang wilayah dari Nusantara bagian barat hingga Nusantara bagian timur.
Dinamika-dinamika dalam sastra Melayu
Secara garis besar, sastra Melayu tidak hanya menunjukkan atau memperlihatkan dinamika bahasa dan sastra Melayu itu sendiri, melainkan juga dinamika keagamaan, sosial, sejarah, aksara, dan kolonialisme di Nusantara.
Dinamika bahasa misalnya tampak pada terjadinya perubahan/perkembangan arti kata. Misalnya arti kata lebai. Dulu lebai berarti penjaga musolla, marbot. Kini, terutama dalam bahasa gaul, lebai berarti berlebihan. Juga, dulu Mengkasar; sekarang Makassar. Dan, meskipun bahasa Indonesia merupakan kelanjutan bahasa Melayu, banyak kosa kata Melayu yang asing bagi pengguna bahasa Indonesia sekarang. Banyak kosa kata Melayu yang jarang digunakan dalam bahasa Indonesia.
Dinamika sastra misalnya tampak pada perkembangan bentuk dan tema yang kian beragam. Dalam hal bentuk, muncul gurindam. Tema pun makin kaya, mulai tema keagamaan (Islam), sejarah kerajaan, peristiwa alam, kebakaran, perang melawan kolonial, pembangunan rel kereta api, percintaan, dll.