Indonesia adalah negara demokrasi yang memiliki pedoman peraturan perundang-undangan dan sumber hukum yang jelas berupa ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi sering kali terjadi tindakan inkonstitusional dan penyelewengan terhadap nilai-nilai demokrasi yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Para pelaksana pemerintahan di negeri ini sering kali melupakan nilai yang ada di dalam demokrasi, dan melakukan penyimpangan sehingga tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di era teknologi ini seharusnya setiap warga negara atau masyarakat memiliki kemudahan dalam menyalurkan aspirasi berupa kritikan maupun saran kepada pemerintah. Tetapi sering kali terjadi pembungkaman pada masyarakat yang melakukan kritik di era teknologi ini, apakah ini yang dinamakan negara demokrasi? Atau negara otoriter berkedok demokrasi?
Hal serupa kerap kali terjadi di Indonesia, dimana RRU yang seharusnya melindungi aktivis dalam menyuarakan pendapatnya malah menjadi bumerang bagi mereka dan pro terhadap pemerintah anti-kritik. Banyak sekali aktivis yang di tangkap dan di penjara sejak munculnya UU ITE di Indonesia. Apabila hal ini terus berlanjut akan mengancam keberlangsungan demokrasi yang ada di Indonesia, sebab negara bisa saja semena-mena terhadap rakyatnya dan menjadi otoriter.
Baru-baru ini muncul kasus yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat yaitu Tiktoker Bima Yudha yang menyampaikan kritik soal infrastruktur, sistem pendidikan, dan banyaknya proyek mangkrak di Lampung terhadap Pemprov Lampung, akan tetapi kritikan tersebut tidak mendapatkan tanggapan positif dari Pemprov malah menjadi bumerang bagi Bima. Dimana Bima dilaporkan ke Polisi atas kritikan yang telah diberikan dan keluarganya diduga menerima invasi dan tekanan dari penjabat Lampung. Pelaporan terhadap Bima Yudho (dikutip dari suara.com, Senin (17/4/2023)) dilakukan oleh seorang pengacara atas nama Ginda Ansyori. Alasan dilaporkannya Bima yaitu karena menggunakan konotasi kata “Dajjal” dalam kritikannya, hal ini dianggap tidak sopan dan dapat mencoreng nama baik Provinsi Lampung sehingga akan berdampak pada pertumbuhan perekonomian Lampung. Bima dilaporkan oleh Ginda Ansyori atas pelanggaran UU ITE. Bima dianggap menyebarkan video narasi negatif yang melalui media sosial. Kritikan yang berikan oleh Bima seharusnya dapat dijadikan masukan oleh pemprov Lampung untuk membenahi sistem tatanan pemerintahan yang ada, akan tetapi kritikan tersebut malah berakhir penolakan dan pelaporan ke polisi. Hal ini menunjukkan Undang-Undang yang berlaku tidak digunakan sesuai dengan fungsinya, akan tetapi digunakan sebagai landasan hukum anti-kritik.
UU No. 11 Tahun 2008 ITE merupakan cyber law Indonesia. UU ITE ini kerap kali terjadi penyimpangan dalam implementasinya di masyarakat menyuarakan pendapat atau kritik terhadap Pemerintah. UU ITE kerap kali digunakan sebagai dasar pelaporan aktivis kritikus ke polisi atas kritikan yang diberikan sehingga banyak aktivis yang dipenjara. Implementasi UU ITE yang tidak sesuai ini dapat merusak prinsip negara demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat warga negara terhadap pemerintah. Negara demokrasi merupakan negara yang menerima segala masukan, kritik maupun opini dari warga negara untuk mencapai keberhasilan pemerintahan suatu negara.
Hukum yang seharusnya dijadikan fasilitas untuk mengantisipasi terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah, justru malah menjadi alat acuan bungkusan Hukum untuk menghukum warga negaranya. Negara demokrasi tidak hanya memberikan kebebasan bagi warga negara untuk menyuarakan pendapatnya seharusnya juga ada perlindungan terhadap mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H