"Untunge ati iki gawenane gusti Allah, yen soko plastik, pasti wes ajur"
Untung saja hati ini diciptakan Tuhan, kalau terbuat dari plastik pasti sudah hancur
Begitulah kira-kira satu cuplikan yang baru saja saya dengar pada obrolan cantik di warung kopi.wahh,, kalau masalah hati memang tidak ada hentinya untuk selalu ingin tahu, apa sih yang terjadi.
Dua remaja ternyata sedang menceritakan kegalauannya menghadapi situasi lingkungan baru di sekolahnya. Ternyata si gadis "A" sebut saja begitu, baru pindah ke salah satu sekolah kemudian berteman dengan gadis "B" yang menjadi sahabat karibnya. A menceritakan keluh kesahnya kepada "B" mulai dari perlakuan teman-temannya yang senang mengolok-olok bentuk tubuhnya hingga kondisi akademiknya. Dan menurutnya, tidak hanya sampai pada ucapan menyakitkan saja, tetapi sudah merambah ke kekerasan fisik.
Seketika itulah saya ingat dengan kondisi saya. "Wahh mengapa begitu mbak ambar?" Ya harus saya jawab dengan jujur, saya juga pernah menjadi korban bullying, kalau saya ingat lagi,, bahkan saya bisa ingat dengan detail, hampir 10 tahun saya mengalaminya. Kalau di beberapa artikel dikatakan bahwa korban Bullying cenderung detail dalam proses penanganannya dari rasa trauma yang dalam, memang hal itu benar.Â
Bahkan saya juga tergugah untuk menceritakan betapa parahnya kehidupan para korban bullying ini hingga berpengaruh kepada kondisi fisik dan juga psikisnya dan jika ada kesempatan, saya ingin sekali membuat sebuah buku yang membagikan pengalaman saya. I wish.. hehe
Back to topic.
Bullying sendiri bisa terjadi dimana tempat, baik di sekolah, tempat kerja, jalan raya hingga dalam rumah tanggapun bisa terjadi. Parahnya lagi, korbannya tidak hanya orang dewasa saja, tetapi anak-pun sangat rentan menjadi korban. Waktu itu, saya pribadi menjadi korban sekitar umur 6 tahun dan duduk di bangku SD. Pelakunyapun dari teman-teman sekolah. Bentuk bullying itu sendiri beragam dan kadang bercampur, bisa berbentuk sosial bullying, verbal bullying dan Physical Bullying.
Yang paling menakutkan, jujur menurut saya adalah bentuk bullying yang berujung dengan kekerasan fisik yang akhirnya membekas pada psikis. Dan kembali lagi, saya harus jujur mengatakan bahwa hingga detik ini, 'rasa sakit' itu masih membekas, detail, baik ingatan tentang siapa pelakunya, dimana, bentuk perlakuan sampai alat-alat yang digunakan untuk membully saya.
"People say sticks and stones may break your bones, but names can never hurt you, but that's not true. Words can hurt. They hurt me. Things were said to me that I still haven't forgotten." --Demi Lovato
Tidak hanya sekedar cuitan di dunia nyata saja, alih-alih kita menghadapi pembuli real, tetapi yang kita hadapi adalah cyber bullying loh. Mulai dari celoteh warganet yang maha benar hingga aksi-aksi yang tidak bisa di rasio saat melakukan cyber bullying. Dan ini banyak kita lihat di akun media masa yang mebahas tentang kehidupan seseorang. #miris
Dont Give Up