[caption id="attachment_403626" align="aligncenter" width="399" caption="Kabag Humas Menjelaskan Fungsi dan Tantangan SKK Migas"][/caption]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia terus. Alhasil Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan minyak bumi dalam negeri. Berita baiknya, potensi gas bumi yang belum terekploitasi masih cukup besar. Seperti apa tantangan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia? Berikut berbagai tantangan pengelolaan migas di bagian hulu sebagai bagian dari fungsi SKK Migas.
SKK Migas merupakan kelanjutan dari BP Migas yang bertugas sebagai pengawas dan pengendali migas di bagian hulu. Bagian hulu terdiri atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, yang meliputi aktivitas surveigeologi dan seismik, tahap pengembangan, hingga tahap produksi.
Berdasarkan data statistik (BP Statistical Review 2014) yang disajikan oleh SKK Migas pada acara Kompasiana Nangkring Februari 2015, Indonesia telah terlempar dari 20 besar negara penghasil minyak bumi. Indonesia berada pada urutan 27 dengan cadangan minyak sebesar 3,7 miliar barrel minyak (BBO). Sedangkan untuk cadangan gas bumi, Indonesia berada di urutan empat dengan cadangan sebesar 103,3 trilion cubic feet (TCF).
Cadangan minyak berkurang selain disebabkan kondisi sumur-sumur tua yang lebih banyak mengandung air dibandingkan minyak mentah, juga proses eksplorasi dan eksploitasi yang memerlukan perencanaan matang dan kesabaran untuk menuai hasilnya.
Dijelaskan oleh Rudiarto Rimbono, Kepala Bagian Humas SKK Migas, dari hasil survei seismik belum tentu berlanjut ke tahap eksploitasi, perlu uji lab, studi skenario pengembangan lapangan dan sebagainya. Jika tahap eksplorasi disetujui, maka proses berlanjut ke tahap eksploitasi. Pada tahap eksploitasi ini tidak selalu menghasilkan minyak. Saat dibor, kadang tidak menemukan apa-apa. Hanya air, cerita Rudi. Karena itu unsur ketidakpastian dalam eksplotasi minyak cukup tinggi. Rata-rata tingkat keberhasilan ekspoitasi minyak bumi di Indonesia berkisar 40 persen. .
Dan jikapun kemudian minyak ditemukan, maka umumnya tidak seketika berproduksi. Rudi mencontohkan daerah Riau, dimana proses eksplorasi memakan waktu 10 tahun. Setelah dilakukan proses eksploitasi, minyak baru mengucur kali pertama sekitarlima tahun kemudian.
Sumur minyak hasil kegiatan eksploitasi tersebut masih mengandung air, gas, racun, sehingga perlu dipilah-pilah terlebih dahulu. Saat baru ditemukan kandungan minyak umumnya cukup besar, namun setelah bertahun-tahun, kandungan minyak dibandingkan kandungan air jauh lebih sedikit,. Kandungan air pada sumur tua bisa mencapai 90 persen.
Proses eksplorasi dan eksploitasi yang bertahun-tahun tersebut tentunya memakan dana dan tenaga yang sangat besar. Namun, jelas Rudi, dari segi pendanaan tidak ada masalah. Pasalnya, dana eksploitasi migas ditanggung kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Dan apabila wilayah kerja tersebut tidak berproduksi atau minyak gagal ditemukan maka seluruh biaya kerugian ditanggung KKKS.
Tantangan berikutnya yaitu proses perijinan yang cukup memakan waktu. Hingga saat ini proses perijinan memerlukan birokrasi yang cukup panjang karena melibatkan belasan instansi dan melewati berbagai proses. Rudi berharap ke depan proses perijinan ini bisa lebih cepat sehingga proses eksploitasi migas bisa lebih cepat dijalankan bila proses eksplorasi sudah lolos.Tantangan selanjutnya adalah kondisi politik yang dinamis.
Menurut ia, Indonesia masih berpotensi akan minyak bumi, terutama di Indonesia bagian timur dan laut dalam atau < 300 meter. Sedangkan untuk gas bumi, cadangannya di Indonesia jauh lebih besar daripada cadangan minyak bumi, selain itu masih banyak daerah yang berpotensi gas bumi yang belum tereksploitasi. Hal ini selaras dengan tren kebutuhan energi dunia dimana setiap tahun tren kebutuhan gas meningkat sementara kebutuhan minyak bumi mulai menurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H