[caption id="attachment_329824" align="aligncenter" width="300" caption="Batik dengan corak khas Manado"][/caption]
Tidak terasa AFTA atau ASEAN Free Trade Area sudah tinggal setahun lagi. Tahun 2015 seluruh warga Indonesia mau tidak mau harus bersaing ketat dengan produk dari negara tetangga se-ASEAN. AFTA ini juga akan menjadi arenapemanasan sebelum Indonesia menghadapi persaingan dengan seluruh negara di dunia pada tahun 2020. Mampukah Indonesia bersaing di negeri sendiri?
Ya, itulah tantangan terbesarnya. Apakah produk dan sumber daya manusia Indonesia mampu bertahan dan bersaing di negeri sendiri? Apalagi nanti pilihan produk akan semakin beragam dan harga akan sangat bersaing.
Sebelum membahas lebih jauh tentang strategi menghadapi tantangan tersebut, saya akan membahas tentang AFTA. Forum kerja sama ini sebenarnya bukan hal yang baru karena merupakan hasil pertemuan tahun 1992 di Singapura.Alasan dibentuknya AFTA ini dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan ekonomi di antara negara anggota ASEAN. Sehingga diharapkan dengan adanya kawasan perdagangan bebas, pertumbuhan ekonomi negara anggota ASEAN semakin meningkat dan mampu bersaing.
Sejak tahun lalu AFTA mulai diperbincangkan di media massa dan media online. Namun, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak terjangkau oleh informasi ini, terutama masyarakat di pedesaan dan di pedalaman. Mereka tidak tahu seperti apa dampak dari penerapan AFTA tersebut kepada perekonomian mereka.
Dampaknya tidak main-main karena AFTA tidak hanya membuat kita berkompetisi di bidang bisnis, namun juga pasar tenaga kerja, dan budaya. Dari segi bisnis, produk-produk dari negara ASEAN akan bebas masuk di negara Indonesia. Tentu kita ingat beberapa waktu lalu pasar Indonesia dihebohkan dengan beras Vietnam yang melakukan penetrasi pasar dengan harga yang murah. Melihat cukup lakunya produk tersebut menunjukkan bahwa pada tahun berikutnya beras Vietnam ataupun beras Thailand akan mendapat tempat di kalangan masyarakat apalagi jika mereka mampu menjualnya dengan harga yang lebih murah daripada harga beras lokal.
Sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu cemas dengan persaingan tingkat ASEAN, karena sebenarnya kita telah mengalami beberapa kali pemanasan persaingan skala regional dengan adanya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yaitu perjanjian antara Tiongkok dan ASEAN pada tahun 2010 dan Korea dan ASEAN (AKFTA) pada tahun 2007. Serbuan batik dan produk Tiongkok murah di Indonesia yang membuat sebagian usaha kecil dan menengah gulung tikar salah satu bukti keberhasilan ACFTA untuk segi negatif. Untuk segi positifnya, produk Indonesia juga banyak yang diimpor ke Tiongkok, seperti furnitur dari Jepara.
Begitu pula dengan adanya perjanjian ASEAN dengan Korea (AKFTA). Dari hasil kerja sama tersebut, bukan hanya produk elektronik Korea saja yang memenuhi etalase toko di Indonesia, namun juga baju, kosmetik, dan waralaba seperti Lotte Mart. Mereka juga mencoba-coba mengekspor budaya ke Indonesia dan sangat berhasil. K-Pop alias Korean Popyang identik dengan boyband dan girlband dengan dandanan supermodis dan musik easy listening laku keras di Indonesia. Begitu juga dengan drama korea yang mellow. Keuntungan bagi Indonesia, universitas Korea banyak menyediakan beasiswa S1 dan S2 bagi pelajar Indonesia.
Untuk persaingan antar negara ASEAN, saat ini yang paling mencolok adalah produk-produk dari Thailand seperti buah-buahan dan hasil olahan buah seperti aneka jus. Sedangkan Malaysia dan Singapura lebih menjual pariwisata, pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Mereka rajin mengiklankan pariwisata mereka dengan kemasan yang cantik. Demikian juga dengan jualan universitas yang nampak bergengsi dan rumah sakit yang memiliki teknologi maju. Jika AFTA diberlakukan, maka produk dan jasamereka bakal bisa dijual lebih murah di pasaran ASEAN.
Untuk pasaran tenaga kerja, dengan adanya AFTA akan memungkinkan SDM dari negara tetangga untuk bekerja di perusahaan atau institusi pendidikan dalam negeri. Apalagi jika kualitas mereka sepadan atau lebih unggul dibandingkan SDM lokal dan menguasai bahasa Indonesia, tentu tidak ada alasan bagi pemilik perusahaan atau institusi pendidikan untuk tidak menerima mereka sebagai karyawan.
Apakah AFTA hanya berpengaruh terhadap bisnis ekonomi, tenaga kerja dan lapangan usaha, serta budaya? Saya yakin AFTA akan berpengaruh juga di dunia hukum, terutama hukum ekonomi. Indonesia bakal punya pekerjaan untuk menyesuaikan hukum ekonomi saat ini dengan implementasi AFTA nantinya.
Lantas apa yang harus dilakukan Indonesia untuk menghadapi AFTA tersebut? Program perlindungan beberapa produk dalam negeri dengan melarang impor produk-produk tertentu seperti yang dilakukan di Jawa Timur saat ini bakal tidak bisa dilakukan lagi karena banyak yang beranggapan hal tersebut bertentangan dengan hukum perdagangan bebas. Subsidi dari APBD dan APBN masih bisa dilakukan, namun jika dilakukan terus-menerus akan membuat pengusaha kita tidak pernah bisa mandiri.
Cara terbaik adalah mempersiapkan diri. Masih ada waktu satu tahun sebelum kita menerjunkan diriuntuk berkompetisi. Persiapan ini memerlukan kerja sama dari semua elemen masyarakat. Pemerintah sebaiknya aktif menyosialisasikan AFTA ini kepada semua lapisan masyarakat, manfaatnya, juga dampak negatifnya. Pemerintah juga sebaiknya memberikan bantuan pelatihan, kucuran modal dengan bunga ringan, dan teknologi agar produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM memiliki kualitas yang memenuhi standar yang ditetapkan. Strategi dari pemerintah Kalimantan Barat bisa diadopsi. Mereka melindungi produk lokal dengan mendirikan badan standarisasi nasional agar kualitas produk mereka setara dan kompetitif. Badan ini tidak hanya melakukan standarisasi, namun juga memberikan pelatihan dan bantuan teknologi.
Dari segi masyarakat, mereka juga diharapkan meningkatkan keunggulan diri dengan meningkatkan keahlian mereka, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan untuk beradaptasi sehingga tidak kalah dengan SDM dari negeri tetangga. Mereka juga mulai ditanamkan budaya mandiri dan budaya berkompetisi secara jujur.
Menggalakkan Program Aku Cinta Produk Indonesia
Sebenarnya AFTA tidak hanya memiliki dampak negatif, namun juga berbagai manfaat positif. Kita bisa lebih bebas dan mudah menjual produk kita di tingkat ASEAN, menjalin kerja sama dengan pengusaha dari negara tetangga, lebih mudah memilih tempat pendidikan dan rumah sakit yang berkualitas, juga dapat digunakan untuk mempromosikan aneka kekayaan budaya nusantara dimana nantinya dapat meningkatkan pendapatan pariwisata.
Selain langkah mempersiapkan diri untuk meningkatkan keunggulan produk dan SDM dalam negeri, Indonesia dapat meniru langkah jitu bangsa Korea dalam menghadapi persaingan bebas. Yakni, menanamkan dan membangkitkan rasa cinta kepada produk dalam negeri serta rasa memiliki terhadap kekayaan suatu daerah. Mereka lebih memilih produk domestik meskipun produk impor juga membanjiri pangsa pasar dalam negeri. Mereka juga bangga terhadap produk dan budaya mereka serta berani mempromosikannya kepangsa pasar global.
Banyak produk Indonesia yang kualitasnya setara dan bahkan di antaranya unggul. Produk kreatif kita seperti busana muslim, aneka kerajinan, produk kuliner seperti rendang, diakui kualitasnya di tingkat dunia. Lagu yang dikeluarkan oleh musisi Indonesia juga laris di tingkat ASEAN. Sayangnya masih banyak yang enggan membeli dan mengenakan produk lokal. Malah dianggap lebih bergengsi jika mengenakan produk impor. Padahal jika warga Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta senang dan bangga menggunakan produk lokal maka berapa banyak nilai rupiah yang didapat. Belum lagi jika kita berani memperluas pasar kita hingga ke tingkat ASEAN.
Mangga Probolinggo, misalnya. Memang banyak mangga dari daerah lain yang enak, namun mangga asal probolinggo sudah diakui kenikmatannya. Manis, berair, dan dagingnya tebal. Warga Probolinggo bangga akan mangga mereka dan telah mengeskpor berton-ton mangga ke negara tetangga. Bahkan, dulu tiap warga diminta untuk menanam pohon ini di halamannya. Saat ini, kebijakan ini akan diberlakukan lagi. Saat ini jenis produk mereka dari hasil olahan manggga belum banyak. Namun, saya yakin ke depan mereka tidak hanya mengeskpor buah mangga, namun juga sirup, keripik, dodol, permen, dan aneka kue dari mangga. Siapa tahu nanti juga dijual gantungan kunci dan kaus bergambarkan buah mangga.
Menumbuhkan kecintaan terhadap produk lokal memang tidak bisa secara instan. Bisa diawali dari pejabat daerah kemudian ditumbuhkan di lingkungan sekolah, keluarga, instansi dan institusi, serta lingkungan tempat tinggal. Program ini melibatkan seluruh komponen masyarakat dan hasilnya juga bakal dirasakan oleh mereka.
Semoga nantinya produk domestik dapat menjadi raja di negeri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H