Nomor "Plink, Plank, Plunk" pun kemudian dimainkan. Karya Leroy Anderson ini bernuansa jenaka dan ceria, dimana komposisi lagu ini didominasi oleh instrumen musik string yang dipetik. Penonton pun tertawa dan kemudian memberikan aplaus meriah setelah nomor ini dimainkan.
Menonton pertunjukan orkestra selalu menarik, apalagi jika mereka menampilkan nomor klasik, lagu-lagu soundtrack film terkenal dan lagu-lagu kebangsaan. “Plink, Plank, Plunk” salah satu nomor favoritku yang sering dimainkan kelompok orkestra, termasuk Twilite Orchestra.
Sejak kuliah aku sangat menyukai menonton pertunjukan musik klasik, baik yang berupa recital piano, ensemble string, dan orkestra. Memang kesannya mewah, padahal tidak juga, karena banyak juga yang tak berbayar. Dan aku merasa sangat beruntung karena Twilite Orchestra pernah mengadakan acara orkestra masuk kampus sehingga harga tiketnya pun terjangkau oleh mahasiswa. Setelah lulus kuliah dan bekerja, aku pun rajin menyisihkan dana untuk menonton pertunjukan musik, terutama musik orkestra.
Musik orkestra itu memiliki magis bagiku. Mendengarkan komposisi yang dibangun oleh flute, piano, biola, cello, triangle, dan harpa seolah membawaku mengarungi mimpi dan imaji dari lagu tersebut. Aku pun larut dalam emosi dan ambience yang tercipta dari lagu tersebut.
Ketika mendengar “One Winged Angel” dari Final Fantasy ditampilkan, rasanya pori-pori tubuhku ikut merinding mendengarkannya. Musik orkestra berpadu dengan band rock dan alunan paduan suara membuatku terpesona. Energinya luar biasa. Sementara tubuhku mendengarkan musik tersebut, benakku membayangkan sebuah adegan epik dari film Final Fantasy. Saat nomor itu selesai dimainkan, ada rasa gembira dan juga terharu.
Energi dari pertunjukan musik juga kurasakan jika menonton konser band cadas. Sejak masih pelajar, aku gemar menonton festival band dan konser beraliran rock. Oleh karena seperti musik orkestra, mendengarkan musik cadas membuatku merasakan luapan energi dari penampilnya.
Ada pertunjukan berbagai band beraliran pop rock yang kukenang. Seperti Boomerang, Padi, Gigi, Dewa 19, Jamrud, Slank, /Rif, dan Deadsquad dari lokal juga Mr Big, Cranberries, The Used, Kreator, dan Linkin' Park dari mancanegara.
Aku sendiri jarang punya teman yang gemar menonton konser band cadas. Seringnya aku menonton sendirian. Plusnya, aku bisa ikut-ikutan bernyanyi dan berteriak sepuasku. Toh tidak ada yang kukenal hehehe. Minusnya, aku tidak punya teman berangkat dan pulang menuju lokasi konser. Padahal, biasanya konser usai di atas pukul 21.00. Apalagi, di festival musik rock yang menghadirkan berbagai musisi, biasanya usainya lebih malam.
Alhasil, aku pun melakukan persiapan diri sebelum menonton konser beraliran cadas. Di antaranya menggunakan pakaian yang nyaman dan tidak mencolok, tidak berada terlalu dekat panggung karena bisa saja ada penonton yang melempar botol (meskipun biasanya sudah digeledah dan dilarang), dan menjauhi penonton yang sedang berjoget pogo apalagi melakukan moshing. Jadi ingat waktu SMA pernah menonton festival band dan duduk paling depan, eh ternyata ada penampil band beraliran underground dan membawa pasukannya yang membentuk lingkaran di depan panggung kemudian ber-headbanging sepanjang lagu. Antara antuasias dan was-was selama menontonnya.