Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Panorama Alam dan Kemajemukan Kultur Modal Kuat Perfilman Nasional

15 Oktober 2014   16:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:56 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_366564" align="aligncenter" width="400" caption="Syuting di Belitung Dongkrak Sektor Wisata"][/caption]

Sungguh menarik melihat perkembangan film nasional. Memang selama ini banyak artikel yang lebih menyorot sisi negatifnya dengan masih merebaknya film bergenre horor murahan atau komedi yang garing. Namun, jika diperhatikan baik-baik tema film nasional mulai beragam. Dan, para sineasnya cerdik. Mereka paham nusantara memiliki modal kuat untuk mendongkrak industri perfilman. Keindahan panorama alam dan kemajemukan kulturnya bisa dieksplorasi dan menghasilkan beragam film yang bukan hanya memanjakan mata namun juga lebih mengenalkan penonton pada nilai-nilai lokal.

Entah sejak kapan virus panorama alam ini menjangkiti dunia perfilman nasional. Jika dirunut-runut lautan pasir Bromo terekam baik di Pasir Berbisik yang berhasil memenangkan penghargaan buat insan film berkelas internasional. Bahkan, jika Anda berwisata ke Bromo, sopir jeep sewaan Anda akan dengan senang hati mengantar ke lokasi syuting tersebut.

[caption id="attachment_366565" align="aligncenter" width="275" caption="Pasir Berbisik (Sumber:Blogazine)"]

14133398461916653522
14133398461916653522
[/caption]

Duo Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale dalam Alenia Pictures lebih giat dalam menampilkan keindahan nusantara. Seperti Denias, Senandung di Atas Awan - yang menjadi nominator dalam kategori penghargaan film berbahasa asing di ajang Oscar, Tanah Air Beta, Di Timur Matahari, dan sebagainya. Mereka bahkan lebih jeli dengan menyuguhkan kultur masyarakat dan problema sosial yang dialami mereka. Penonton jadi lebih mengenal keseharian masyarakat di sana, tidak hanya dijejali cerita-cerita kaum metropolis dengan gaya hedonisnya.

Film Laskar Pelangi dan 5 Cm adalah film berikutnya yang sukses membuat dunia pariwisata nasional naik kelas di mata wisatawan lokal. Jangan dulu merasa jadi traveller bila belum pernah mencicipi keindahan alam Belitung dengan batu-batu granit raksasanya juga merasakan sendiri keindahan misterius sepanjang menuju puncak Mahameru. Keindahan alam kedua tempat tersebut memang jelas terekam di kedua film ini. Alhasil tur wisata Belitung laris-manis sepanjang tahun. Anda akan juga diantar ke lokasi-lokasi syuting Laskar Pelangi yang telah menjadi obyek wisata sejak filmnya laris ditonton hingga lebih dari sejuta pasang mata.Semeru pun juga mengalami nasib serupa. Jumlah pendaki gunung naik pesat dibandingkan sebelum film 5 Cm dirilis, bahkan saat ini diberlakukan pembatasan pendaki agar kawasan Semeru tetap lestari.

Sineas asing pun melirik potensi alam Indonesia. Mereka mulai menjadikan nusantara sebagai lokasi syuting. Dimulai dengan film Eat, Pray, Love yang bersyuting di Bali; Java Heat di Borobudur; Savege di Pulau Moyo, Sumbawa; After The Dark di Belitung, Prambanan, dan Bromo; Under The Sea di Pulau Komodo, dan ada beberapa film internasional yang direncanakan akan berlangsung di nusantara seperti Cyber yang dibintangi Chris Hemsworth

[caption id="attachment_366563" align="aligncenter" width="500" caption="Candi Prambanan dalam Film After The Dark"]

14133396192078741500
14133396192078741500
[/caption]

Hal ini membuktikan bila pesona alam nusantara sudah menjadi modal kuat bagi perfilman nasional. Dan bisa jadi akan banyak insan film nasional yang mendapat penghargaan internasional untuk kategori sinematografi. Tinggal tambahkan jalan cerita yang menarik, akting pemain yang berkualitas, musik yang menjiwai film, dan promosi yang baik, maka film tersebut akan mendapat tempat di kalangan pecinta film nasional.

Kemajemukan kultur dan problema sosial di masyarakat juga menjadi potensi yang menarik untuk dieksplorasi. Dengan keragaman suku dan budaya termasuk problema yang dihadapi masyarakat pedalaman atau pulau terluar, akan banyak film-film yang bermuatan sosial dan nilai-nilai lokal. Potensi ini mulai digali dengan adanya The Mirror Never Lies tentang suku Bajo di Wakatobi, Sokola Rimba tentang sekolah untuk anak Rimba-Jambi, dan yang teranyar adalah 3 Nafas Likas yang membubuhkan kultur Batak Karo. Jika diperhatikan, banyak penghargaan internasional yang diraih oleh insan film Iran bernafaskan muatan lokal dan tradisi. Ya, Iran paham mereka belum bisa menyamai teknologi visual seperti Hollywood dan mereka pun mengeksplorasi tema-tema sosial dan budaya di negeri mereka.

[caption id="attachment_366566" align="aligncenter" width="275" caption="Sokola Rimba (Sumber: Antaranews)"]

1413339972977400701
1413339972977400701
[/caption]

Kerja Sama Erat Industri Perfilman dan Pariwisata

Sudah hal yang jamak bila disebutkan industri perfilman mendukung sektor pariwisata negeri tersebut. Thailand identik dengan Maya Bay yang menjadi lokasi syuting The Beach. Film Korea dengan Winter Sonatanya juga lekat dengan Pulau Juju. Belum lagi film Da Vinci Code yang kemudian melahirkan tur menyusuri gereja dan lokasi-lokasi yang disebutkan di film tersebut.

Di Indonesia seperti yang telah saya utarakan di atas, wisatawan lokal mulai rajin mengumpulkan uang untuk berlibur ke tempat wisata yang melejit karena film. Mereka tidak hanya puas dengan Bromo dan Belitung, namun mulai berlatih fisik agar mampu mendaki Mahameru dan menabung ekstra keras untuk dapat menjelajah Pulau Moyo, mengintip komodo, dan menikmati panorama bawah laut Wakatobi.

[caption id="attachment_366567" align="aligncenter" width="400" caption="Pulau Moyo Lokasi Syuting Savage (Sumber: Balifilm.com)"]

141334013026854902
141334013026854902
[/caption]

Nah, inilah yang perlu dicermati insan pariwisata dalam negeri. Mereka harus tanggap film-film mana yang memberikan efek ke tempat wisata tertentu sehingga akomodasi dan infrastruktur menuju lokasi wisata tersebut dibenahi namun jugatetap memperhatikan kelestarian alam dan kerja sama dengan penduduk setempat. Ya, jangan sampai sektor pariwisata untung besar sementara alam wisata itu jadi rusak dan penduduk sekitar dirugikan oleh kemacetan atau kerusakan yang dilakukan oleh wisatawan, seperti lautan pasir di Bromo yang konon kini telah tak berbisik lagi.

Jika sektor pariwisata selama ini lebih banyak diuntungkan dengan promo gratis obyek wisata lewat film, maka sektor pariwisata pun juga bisa menjadi sponsor dunia film untuk mempromosikan daerah tertentu. Katakanlah banyak obyek wisata menarik di Sulawesi, Maluku, atau daerah-daerah lainnya yang belum dilirik para traveller, maka sektor pariwisata memberikan akses ke tempat wisata tersebut cuma-cuma untuk dibuatkan film yang menarik agar mengundang wisatawan. Dunia pariwisata maju, industri perfilman nasional pun semakin melaju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun