Mangan Ora Mangan Kumpul adalah buku karya Umar Kayam favorit keluarga kami. Buku tersebut merupakan kumpulan kolom dengan tokoh Pak Ageng dan keluarganya. Ada banyak hal-hal menarik dibahas Pak Ageng dengan 'keluarga tambahannya' di Yogya dan 'keluarga intinya' di Jakarta sambil bersantap. yang terjadi di meja makan, terutama tentang hal-hal menarik di sekitar mereka.
Untunglah keluarga saya sama dengan Pak Ageng, bukan tipe yang kaku dimana harus diam selama bersantap di meja makan. Kami diperbolehkan mengobrol asal tidak bercanda hingga tersedak. Obrolan kami macam-macam dari seputar sekolah, ulah teman-teman yang kocak ataupun nakal, juga tentang acara sekolah yang ingin sekali kami ikuti. Kami tahu acara semacam camping, tur ke luar kota perlu persetujuan dari orang tua sehingga biasanya kami obrolkan saat santap bersama.
Sejak ayah pernah diopname lama dan kemudian menggandrungi kisah-kisah Pak Ageng dengan penggeng ayamnya, keluarga kami menjadi lebih dekat. Dulu ayah pendiam, dan jarang terdengar kata-katanya selama makan bersama. Akan tetapi setelah kenal Umar Kayam, ia jadi lebih santai dan sering terinspirasi dengan makanan yang ada dalam buku Umar Kayam. Kami anak-anaknya sih senang dengan semakin bervariasinya makanan saat santap malam. Ada penggeng ayam dan sate usus yang sering disebut-sebut dalam kisah Pak Ageng. Ada brongkos yang membuat kami bertanya-tanya makanan apa itu.
Ibu juga jadi semakin gemar bereksplorasi akan makanan sehingga saat santap malam menjadi sesuatu yang kami tunggu-tunggu, kejutan makanan apa yang hadir kali ini. Lalu mulailah ayah berkomentar ini-itu tentang makanan, sambil menyisipi kisah-kisah masa kecilnya. Kami tak kenal kakek nenek kami dari pihak ayah juga leluhur ayah. Jadinya kami hanya bisa membayangkan dari cerita-cerita ayah saat makan malam.
Makan malam menjadi berarti karena hanya saat malam hari kami bersantap secara lengkap. Saat sarapan hanya saya yang menemani ayah karena jam kerja ayah sama dengan jam masuk sekolah saya yang cukup pagi, bahkan saya sering berangkat bersama ayah. Lumayan menghemat ongkos hehehe. Sedangkan saat siang hari jam pulang kami beragam karena kesibukan masing-masing. Saya sibuk di ekskul atau belajar kelompok, kakak asyik bermain sepakbola atau merumpi tentang band-band cadas, sedangkan kakak sulung sudah masuk kuliah.
Selain bersantap bersama keluarga inti, saya paling suka duduk di meja makan nenek. Rumah nenek bersebelahan dengan rumah kami, tinggal membuka pintu penghubung. Di meja nenek selalu ada kopi hitam kental yang selalu terisi, kerupuk, sesisir pisang dan camilan.
Biasanya sore hari, apalagi saat gerimis saya suka mengobrol bersama nenek sambil tentunya icip-icip pisang goreng. Nenek ini hampir selalu punya peliharaan kucing. Bahkan pernah mencapai 13 kucing. Alhasil santap sore atau sarapan pada akhir pekan bersama nenek juga dimeriahkan oleh kehadiran kucing-kucing. Mungkin mereka asyik mendengarkan obrolan kami karena beberapa di antaranya tak menyingkir dan asyik bergelung di dekat kami.
Ketika saya kuliah kemudian bekerja di luar kota, saya selalu merindukan masa-masa makan siang bersama ayah dan ibu juga santap spesial bersama nenek. Saat kuliah, setiap saya pulang dua minggu sekali, ibu dan nenek memanjakan saya dengan memasak makanan kesukaan saya. Kata kakak, saya makan seperti unta, pulang kurus kering dan balik ke kos dengan perut buncit. Saya tertawa geli mendengar ejekan kakak, mungkin ada benarnya juga. Jadwal makan selama jadi mahasiswi memang tidak rutin, apalagi jika banyak tugas praktikum. Alhasil makan di rumah itu bak kemewahan tersendiri.
Kebiasaan makan bersama saya lestarikan hingga menikah. Awal-awal menikah, kami berdua rutin makan pagi dan makan malam bersama karena kantor pasangan tak jauh dari rumah kontrakan.
Ketika kami pindah, maka setiap pagi pasangan tak lagi sempat sarapan lengkap. Terkadang hanya minum teh hangat, sedangkan roti isinya dibawa ke kantor. Sementara untuk makan malam kami sempatkan untuk makan bareng, kecuali suami lembur kerja.
Oleh karena saat kuliah sudah terbiasa ngekos, maka saya dan pasangan bersikap fleksibel. Makan malam tidak harus mewah, kata suami yang penting ada sayur, tempe atau tahu dan sambal. Awal-awal nikah memang saya masih suka bereksplorasi tapi semakin ke sini biasanya saya memasak yang praktis dan hanya memasak yang rumit-rumit saat akhir pekan.