Humanisme atau kemanusiaan selama ini sering didengar dan dibaca, akan tetapi apa sebenarnya pemahaman Kalian akan istilah tersebut? Humanisme bisa memiliki beragam makna bergantung pada perspektif individu. Nah, pada Jumat (20/1) penonton disuguhi beragam perspektif humanisme dalam rupa film pendek yang masuk babak final Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2016 di Bentara Budaya Jakarta.
Beberapa tahun terakhir banyak dihelat workshop pembuatan dan kompetisi film pendek dimana animo masyarakat, baik dari kalangan pelajar dan umum maupun masyarakat umum sangat tinggi dalam meresponnya. Hasil nyatanya kemudian terlihat, kualitas film pendek garapan sineas Indonesia semakin baik. Bahkan, beberapa di antaranya meraih penghargaan berkelas internasional.
Film pendek anak bangsa yang berhasil meraih penghargaan bergengsi cukup banyak di antaranya “Maryam” yang meraih Orizzonti Award for Best Short Film di Venice Film Festival 2014, “Sepatu Baru” yang meraih Special Mention Award at Generation Section, Berlin International Film Festival 2014, “05:55” memenangkan penghargaan Best Cinematography di Global Short Film Awards 2016, “Prenjak” meraih The Leica Cine Discovery Prize di Cannes Film Festival 2016, dan yang terbaru adalah “The Resilient Ones from the East of Indonesia” mendapatkan penghargaan Best Short Film on DRR for Development di Asia Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction 2016. Sangat membanggakan, bukan?!
Salah satu institusi yang konsisten dalam menyelenggarakan kompetisi film pendek adalah Kompas TV. Melihat antusiasme pelajar dan mahasiswa yang tinggi terhadap penyelenggaraan kompetisi film pendek, maka Kompas TV menyelenggarakan Festival Film Pendek Indonesia ketiga kalinya. Sebelum pendaftaran kompetisi dibuka pada 1 Oktober–20 Desember 2016, Fakultas Film dan Televisi Universitas Multimedia Nusantara menyelanggarakan workshopfilm pendek di 10 kota pada 17 Mei–28 Oktober 2016. Kota tempat diselenggarakan workshop film yaitu Pekalongan, Palembang, Jakarta, Tangerang, Medan, Lampung, Banjarmasin, Gorontalo, Denpasar, dan Yogyakarta.
Setelah melalui proses seleksi, maka tersaring 10 besar film pendek dari 276 film yang masuk untuk masing-masing kategori pelajar dan mahasiswa. Selanjutnya keduapuluh film disaring lagi menjadi lima besar untuk tiap kategori. Para dewan juri terdiri dari Ifa Isfansyah yang telah menghasilkan film berkualitas seperti "Sang Penari", "Garuda Di Dadaku", dan "Pendekar Tongkas Emas"; ada Makbul Mubarak seorang akademisi dan pembuat film dimana film pendeknya “Sugih” meraih Film Pendek Terbaik di XXI Short Film Festival 2016; Frans Sartono yang merupakan wartawan senior Harian Kompas dan General Manager Bentara Budaya; dan Deddy Risnanto yang merupakan perwakilan dari Kompas TV.
Latar belakang Kompas TV berkomitmen menyelenggarakan film pendek untuk menumbuhkan semangat sineas muda Indonesia dalam menciptakan film yang berkualitas dan kaya akan muatan lokal daerah. Saat ini juga banyak bertumbuhan komunitas film di berbagai daerah, namun media untuk menampilkan dan menghargai karya mereka masih minim. Sebagai bagian dari Kompas Gramedia Group yang memiliki motto Enlightening People, menurut Rosianna Silalahi. Kompas TV tidak boleh berhenti untuk menumbuhkan harapan, salah satu melalui Festival Film Pendek.
Film-film yang diputar terdiri atas film dokumenter, drama dan juga animasi. Tema humanisme dipilih karena tema ini semua orang tahu, tapi sulit diungkapkan secara otentik, ujar Makbul, salah satu juri.
Penasaran film pendek apa saja yang masuk babak final alias lima besar? Finalis untuk kategori pelajar adalah “2 Hari” karya SMAN 1 Muara Enim Palembang, “Mata Hati Djoyokardi” karya SMA Khadijah Surabaya, “Kihung (Jalan Menikung)” karya SMKN 5 Bandar Lampung, “Izinkan Saya Menikahinya” karya SMA Rembang Purbalingga, dan “Terminal” karya SMKN 2 Kuripan NTB.
Sedangkan untuk kategori mahasiswa , finalisnya adalah “I Love Me” karya Institut Kesenian Jakarta, “Di Ujung Jari” karya Universitas Bina Nusantara, “Merengguk Asa di Teluk Jakarta” karya Universitas Negeri Jakarta, “Omah” karya Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta, dan “Different”karya Ubinus.
Melihat asal sekolah dan kampusnya, maka terlihat dominannya film asal daerah. Ini berarti bibit-bibit unggul dalam dunia sinema nasional tersebar di berbagai daerah, tidak hanya di ibukota. Para generasi muda dari berbagai daerah ini jeli melihat fenomena di sekelilingnya dan juga memiliki gagasan yang otentik. Mereka dipilih bukan hanya karena mampu menciptakan karya yang unggul secara teknis, namun juga mampu menyampaikan nilai humanisme yang mendalam kepada penontonnya, ungkap Makbul Mubarak, salah satu juri FFPI 2016.