Perasaan Abimanyu campur aduk tatkala bertemu ayah kandungnya, Arjuna. Ia merasa senang sekaligus kecewa dan marah. Ia patut marah karena ayahnya membawa kabar tak diharapkannya. Ia dimintai Arjuna untuk menikahi Dewi Utari, sementara di sisinya sudah ada Siti Sundari.
Demikian cuplikan sinopsis dari pementasan oleh Wayang Kautaman berjudul Abimanyu Mandira. Â Sungsang. Pementasan wayang wong (wayang orang) ini diselenggarakan di Gedung Kesenian Jakarta pada 7-8 April. Animo masyarakat pada pertunjukan ini sangat besar. Tiket pada hari pertama pementasan untuk umum ludes sedangkan tiket untuk pertunjukan terakhir yaitu nanti malam (8/4) hanya menyisakan segelintir tiket tribun.
Saya beruntung bersama lima kompasianer lainnya, bang Rahab, mba Yayat, mba Muthiah, Tamita, dan Andini mendapatkan kesempatan untuk menonton pada special screening yang dihadiri sejumlah media, undangan yang terdiri atas mahasiswa jurusan Sastra Jawa dan undangan lainnya pada Kamis (6/4). Saya kali terakhir menonton wayang wong di program acara TVRI ‘Pentas Tradisi’ oleh Paguyuban  Satya Budaya Indonesia yang ditayangkan larut malam. Oleh karena penayangannya yang di atas pukul 23.00 WIB, saya sering sekali tidak tahu akhir ceritanya karena mata sudah sulit berkompromi.
Kisah Abimanyu jarang dikupas dan dibidik dalam pertunjukan wayang wong jika dibandingkan dengan kisah-kisah Arjuna. Padahal cerita putra Arjuna ini juga menarik dan kaya pesan yang bisa ditarik. Ia masih sangat kecil ketika ayahnya mengikuti keempat saudaranya lainnya menjalani hukuman pengasingan selama 13 tahun. Ia dibesarkan oleh Sumbadra di Dwarawati dan sosok ayah ia dapatkan dari pamannya, Baladewa. Alhasil karakter Abimanyu adalah gabungan dari kelembutan Sumbadra dan sifat Baladewa yang kemarahannya bisa meledak-ledak.
Kemarahannya yang menggelegak itu hadir ketika ayah kandungnya memberikan kabar yang tak diharapkannya. Ia menjodohkan putranya dengan putri raja tempat ia mengabdi selama setahun di penghujung masa pengasingannya, Utari dari Wiratha. Ia gundah dan ingin memberontak. Ia merasa terpenjara dalam bayang-bayang kebesaran ayahnya dan merasa sulit untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Pergolakan batin Abimanyu ini terlihat dalam mimik dan gerak tari dalam pementasan ini saat ia bertemu dengan Arjuna atau ketika ia dbujuk dan dibangkitkan semangatnya oleh ibunya, Kresna, dan Gatotkaca. Pertemuan antara ayah dan anak ini tidak berjalan seperti yang diharapkan, seperti ada jarak. Arjuna yang memiliki gerak-gerik lembut ada memiliki perasaan kecewa ketika putranya tidak seperti bayangannya. Ia juga merasa bersalah atas putusannya tersebut dan menganggap orang terdekatnya menganggapnya biang permasalahan.
Pementasan ini memang indah dan bisa dibilang berupaya kekinian agar generasi muda tertarik untuk menontonnya. Busana pemainnya glamour, tata cahaya, latar, dan tata panggungnya nyaman di mata, serta tarian dan akting pemainnya patut dipuji. Dialog dan tembang-tembangnya tetap menggunakan bahasa Jawa namun di bagian atas panggung disorotkan teks inti dialog dalam bahasa Indonesia sehingga penonton yang tidak paham bahasa Jawa bisa mengetahui inti yang dipercakapkan. Bahasa ini menurut sutradara Abimanyu  Mandira Sungsang, Nanang Hape, agak krusial dan membuat jarak dengan penonton yang tidak paham bahasa Jawa. Untuk itu ia membuat sarana teks inti dialog untuk menjembatani masalah tersebut. Bahasa dalam lakon ini juga ia kemas menjadi bahasa yang padat dan lugas.
 Pertunjukan kisah Abimanyu ini merupakan pementasan kali ketiga dan program tahunan oleh Wayang Kautaman setelah Yudakala Tresna (2015) dan Sotya Gandhewa (2016).  Para pemerannya adalah seniman senior yang telah asam garam di pementasan wayang. Mereka adalah Teguh ‘Kenthus’ Ampiranto yang namanya menjulang lewat Ketoprak Humor, Ali Marsudi yang sering berperan sebagai Arjuna, Wasi Bantolo sebagai  Abimanyu dan Agus Prasetyo sebagai Kresna. Juga ada pelawak Kirun sebagai Bagong dan mengisi adegan goro-goro.