Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Digital dan Print Book Masih Saling Melengkapi

4 November 2014   17:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:42 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_371845" align="aligncenter" width="400" caption="Print Book yang Seru Dikoleksi"][/caption]

Awal November lalu saya tercenung membaca twit dari Kompas Gramedia. Ada sembilan majalah di bawah naungan Grup Majalah Gramedia yang sejak November ini berhenti terbit. Akankah dalam beberapa tahun ke depan menjadi tahun kematian bagi bisnis media cetak di Indonesia dan terkalahkan oleh media digital?

Dari sembilan majalah lansiran Gramedia yang berhenti terbit tersebut, ada satu majalah wanita yang saya gemari. Majalah Chic. Meski tidak berlangganan, saya memiliki banyak majalahnya yang masih tersimpan rapi di rak buku. Ketika informasi perhentian itu dirilis, saya merasa seperti membaca kabar meninggalnya teman atau orang yang saya hormati. Ada rasa kehilangan, meskipun bisa jadi versi digital Chic masih eksis.

[caption id="attachment_371846" align="aligncenter" width="300" caption="Majalah Chic yang Menghilang di Rak Toko Buku"]

1415071174526620916
1415071174526620916
[/caption]

Saya jadi ingat dengan diskusi yang disampaikan oleh tiga narasumber di acara Nangkring Kompasiana di IIBF Sabtu lalu (1/11). Pendiri Tabon Books dari Korea, Eric Yang, berkata jika era digital book telah bermula beberapa tahun silam dan perkembangannya sangat pesat di Amerika dan Eropa. Meskipun hal ini dirasakan oleh Direktur Mizan, Putut Widjanarko, tren digital book ini belum terlalu signifikan di Indonesia.

Bagi saya kedua pendapat itu sama-sama benar. Era digital book makin cemerlang sejak bermunculan smartphone yang terjangkau. Membaca buku di smartphone ataupun tablet telah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, terutama generasi muda.

Untuk surat kabar, dengan semakin banyaknya situs berita dengan info-info yang mutakhir, perlahan-lahan mulai ditinggalkan pembacanya. Meskipun masih banyak yang berlangganan surat kabar, namun jumlah oplah per harinya sangat jauh dibandingkan lima tahun silam.

Hal ini juga saya rasakan. Tiap hari saya rajin memeriksa berita di beberapa media ternama dan kegiatan ini berulang pada sore hari. Tapi kebiasaan ini saya lakukan karena menghemat waktu dan biaya. Ketika pulang kampung ke Malang di mana orang tua masih berlangganan surat kabar, saya kembali ke kebiasaan lama membaca surat kabar versi cetak.

Mungkin karena saya bukan termasuk generasi milenia, sehingga ketika dihadapkan pada pilihan versi digital versus versi cetak di depan mata, maka saya akan lebih menyambar surat kabar versi cetak. Surat kabar ini menurut saya lebih nyaman di mata dan bisa disesapi isinya secara perlahan. Biasanya saya mulai dari tajuk rencana atau editorial untuk mengetahui isu terkini. Baru dilanjutkan dengan berita berat dan dipungkasi dengan berita ringan atau selipan humor.

Begitu pula halnya dengan majalah, novel, buku teks, atau jurnal ilmiah. Jika posisi saya di suatu tempat, tidak mobile, dan ada pilihan digital atau cetak, maka saya akan spontan memilih versi kedua. Mata lebih nyaman, bisa dibolak-balik, dan bisa ditandai hal-hal yang penting. Buku versi cetak ini menurut saya juga memberikan suatu perasaan dan ikatan khusus seperti yang disebutkan pendiri Kompasiana, Pepih Nugraha, mulai dari segi cover, jenis kertas, ukuran buku, hingga nama pengarangnya. Ada suatu pengalaman tersendiri ketika saya menyentuh relief pada cover-nya, merasakan bobot bukunya, dan mencium aroma buku yang terkadang sedikit berbau asam atau berbau apak. Sehingga, ketika membaca buku versi print out ini pengalaman membaca saya jauh lebih kaya dibandingkan ketika membaca versi digital.

Namun, bukan berarti saya enggan menyentuh versi digital. Saya setuju dengan pendapat Eric, jika digital dan print book ini saling melengkapi. Ketika bepergian dan bawaan saya sudah penuh, maka saya akan memilih membaca buku dari smartphone atau laptop. Puluhan buku yang beratnya bisa mencapai 3 kg diringkas hanya berukuran tak lebih dari 1 G.Begitu pula ketika di kampus atau di tempat kerja, digital book membuat saya mampu bekerja dan membaca dengan hanya memindahkan mouse.

Saat ini e-book dan print book masih saling melengkapi. Entah bagaimana trennya dalam lima tahun ke depan.

[caption id="attachment_371849" align="aligncenter" width="400" caption="Nangkring Kompasiana di IIBF"]

1415071376252083180
1415071376252083180
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun