Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bijak dalam Menyikapi Kredit Konsumtif

22 November 2014   06:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:09 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14165873321734244435

[caption id="attachment_377266" align="aligncenter" width="254" caption="Kredit Konsumtif (sumber gambar: banyuwangi.us)"][/caption]

Mengatur stabilitas sistem keuangan di Indonesia merupakan tugas dari Bank Indonesia (BI). Namun, pihak yang berperan di dalam menciptakan stabilitas tersebut bukan hanya BI. Seluruh komponen ikut berperan mulai dari sektor perbankan, sektor industri/swasta, pemerintah, investor asing, dan juga masyarakat umum. Oleh karena itu, individu, sebagai salah satu komponen masyarakat terkecil, turut andil dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan. Maka dari itu, unsur prudent atau kehati-hatian sepatutnya juga ditanamkan ke masyarakat melalui sikap seperti bijak dalam berkonsumsi dan mawas diri dalam menyikapi tawaran kredit konsumtif yang menggiurkan.

Peran individu dalam mempengaruhi stabilitas sistem keuangan negara ini awalnya cenderung kurang diperhatikan. Pemerintah umumnya lebih menyoroti pasar uang dan pasar modal, bunga, pajak, dan kredit korporasi. Namun, sejak krisis ekonomi dunia pada tahun 2008 kemudian disadari bila individu memiliki andil besar dalam mengguncang stabilitas sistem perekonomian negara.

Oleh karena pada tahun 1998, kredit bermasalah banyak dialami oleh sektor industri dan swasta, maka pihak perbankan dan lembaga keuangan kemudian memindahkan targetnya ke masyarakat umum. Maka sejak tahun 2000 mulai bermunculan lembaga yang menawarkan ritel dan consumer product, baik berupa lembaga keuangan maupun perbankan. Pihak perbankan yang dulunya berfokus pada pemberian modal ke swasta dan industri mulai tertarik melihat kue pangsa ritel/mikro dan consumer product yang sangat besar di Indonesia. Alih-alih memberikan modal usaha ke usaha kecil dan menengah, pasar untuk kredit konsumtif jauh lebih menarik.

Alhasil dalam satu dekade ini, kita bisa melihat jor-joran tawaran kredit konsumtif yang menggiurkan, baik dari lembaga keuangan maupun pihak perbankan. Kredit yang ditawarkan ke masyarakat bukan hanya kredit kepemilikan rumah, melainkan beragam kredit konsumtif dengan berbagai kemasan yang menarik. Ini belum termasuk kartu kredit yang semakin mudah dimiliki atau beragam kredit kendaraan bermotor (KKB) yang semakin mudah persyaratannya. Hal ini membuat ada semacam gaya hidup baru di masyarakat dimana kepemilikan kredit menjadi kebutuhan. Setiap rumah tangga terutama di kota besar rata-rata memiliki minimal satu pinjaman seperti KPR, kredit kendaraan bermotor, atau kredit konsumtif lainnya.

Ada sebuah tanda tanya besar di sini. Mengapa masyarakat mudah tertarik dengan tawaran kredit konsumtif. Untuk KPR memang masih wajar karena kenaikan harga rumah umumnya tidak selaras dengan kenaikan gaji. Namun, bagaimana dengan kredit konsumtif lainnya? Apakah mereka tidak bisa sedikit bersabar dengan menabung daripada membeli barang secara kredit dimana bunganya umumnya tidak kecil. Bahkan tidak sedikit yang mengagunkan SK PNS untuk mendapatkan kredit konsumtif.

Pertumbuhan kepemilikan kartu kredit di Indonesia naik setiap tahunnya. Berdasarkan data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, pada tahun 2011 ada 14,79 juta pemilik kartu kredit dan pada April 2014 posisinya sudah mencapai 15,21 juta atau bertambah 420 ribu pemilik dalam selang waktu tiga tahun. Sedangkan untuk KPR dan KKB berdasarkan Bapepam-LK pertumbuhannya sekitar 33% pada tahun 2011 dan trennya terus meningkat melebihi pertumbuhan kredit secara keseluruhan.

Kredit konsumtif memang seolah jalan pintas. Apalagi saat ini persyaratannya tidak rumit dan tenornya fleksibel. Banyak juga di antara penawaran kartu kredit seperti KKB dan KPR tersebut yang tidak menyertakan aturan uang muka. Sehingga, dengan modal ratusan ribu setiap orang bisa memiliki motor atau memiliki rumah. Semuanya nampak mudah. Semuanya bisa disolusikan dengan kredit konsumtif. Namun benarkah kemudahan itu tidak berisiko, baik bagi debitor, kreditor, maupun bagi stabilitas sistem keuangan negara.

Hal ini telah terjawab di Amerika Serikat pada tahun 2008 dengan kasus kredit bermasalah untuk kepemilikan rumah. Kredit macet (non-performing loan/NPL) ini menimbulkan efek domino karena pihak perbankan dan lembaga investasi juga kurang berhati-hati dalam menanamkan investasinya di sektor perumahan. Meskipun krisis ekonomi tersebut tidak menimbulkan imbas sebesar krisis moneter 1998 ke Indonesia namun memberikan lampu merah kepada sistem perbankan dan lembaga keuangan di Indonesia tentang sistem penyaluran kredit konsumtif ke masyarakat.

Untunglah bank sentral Indonesia, Bank Indonesia, tanggap dalam menyikapi gejala budaya konsumtif ini dengan mulai mengatur kebijakan terkait kredit kepemilikan rumah, kredit kendaraan bermotor, dan aturan baru kartu kredit. Hal ini awalnya dianggap bukan termasuk tugas dari BI, karena kredit yang beredar di masyarakat dianggap sesuatu yang berskala kecil. Namun, seperti definisi sistem keuangan dalam presentasi BI, sistem keuangan menyangkut kumpulan institusi dari pemerintah, kalangan bisnis, investor asing, dan rumah tangga dimana terdapat interaksi dengan menggunakan instrumen keuangan dengan tujuan mobilisasi dana dari pihak surplus (kelebihan dana) ke pihak defisit (kekurangan dana). Pola konsumsi rumah tangga turut menjadi perhatian Bank Indonesia terutama terkait dengan kredit konsumtif yang bisa memberikan efek domino jika terjadi NPL alias kredit macet.

Sejak tahun 2012, Bank Indonesia mulai mengetatkan penyaluran KPR dan KKB dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Bank Indonesia No.14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank. Aturan ini kemudian direvisi dengan SE No 15/40/DKMP yang dirilis pada September 2013. Tujuan dari penerbitan SE ini yaitu untuk menekan pertumbuhan KPR dan KKB, meminimalkan risiko NPL dan juga meningkatkan aspek prudensial (kehati-hatian) perbankan dan lembaga keuangan dalam penyaluran kredit properti dan kredit kendaraan bermotor.

Dalam surat edaran tersebut, BI mengatur rasio Loan to Value (LTV)untuk KPR rumah pertama dan seterusnya juga uang muka (down payment/DP) untuk kepemilikan kendaraan bermotor sebesar 25% untuk motor dan 30% untuk mobil. Sedangkan untuk kepemilikan kartu kredit, ada aturan baru yang akan diterapkan sejak tahun 2015. Dimana pemiliknya dibatasi hanya untuk mereka yang berpenghasilan di atas Rp 3 juta dengan bunga maksimal 2,95%/bulan.

Kebijakan LTV dan lainnya untuk menekan pertumbuhan kredit bermasalah ini berujung upaya untuk menghindari pertumbuhan risiko sistemik yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan negara. Hal ini juga sesuai dengan salah satu tugas BI dan Peraturan Bank indonesia PBI No. 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial yang mencangkup upaya mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, meningkatkan efisiensi sistem keuangan, dan akses keuangan rumah tangga.

Aturan penyaluran kredit konsumtif tersebut sebenarnya bukanlah merugikan masyarakat melainkan lebih bersifat melindungi. Jika masyarakat tidak diperingatkan secara keras untukmengatur pola konsumtifnya maka kebiasaan besar pasak daripada tiang dan gali lubang tutup lubang akan terus berulang dan tidak pernah berakhir. Tidak hanya merugikan diri sendiri, jika kredit macet danterjadi pada banyak rumah tangga akan berdampak serius ke negara. Budaya konsumtif akan lebih baik jika diiringi dengan gerakan menabung. Sesuatu yang diperoleh dengan menabung dan sikap sabar biasanya akan lebih baik dibandingkan sesuatu yang diperoleh hanya berdasarkan nafsu dan tergesa-gesa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun