[caption id="attachment_385452" align="aligncenter" width="300" caption="Bertanam Lidah Buaya"][/caption]
Banyak berubahnya lahan hijau menjadi perumahan di Jakarta Timur dan masih adanya masyarakat yang membuang sampah di selokan membuat kualitas air tanah di kawasan ini mulai dipertanyakan. Tahun 2011-2012 kualitas air tanah di daerah Kalisari, Jaktim, masih layak minum. Akan tetapi melihat semakin banyaknya pemukiman yang dibangun di atas lahan hijau, masyarakat pun bahu-membahu untuk memelihara kualitas air tanah.
Tepat tiga tahun kami berdua pindah ke kawasan Kalisari, yang lokasinya tak jauh dari Markas Kopassus Cijantung. Saat itu kami jatuh cinta dengan daerah ini melihat banyaknya pepohonan yang ditanam di tepi jalan utama. Adapula hutan kota yang berada beberapa meter dari mako Kopassus. Warga setempat yang kemudian menjadi tetangga kami juga bercerita jika air sumur di daerah ini jernih dan layak minum. Bahkan, ia pernah melakukan uji coba air tanah ke IPB dan masuk ke daftar air layak minum.
Setelah menetap di sini, memang saya membuktikan sendiri kualitas air tanah di daerah ini. Apalagi jika dibandingkan dengan tempat tinggal sebelumnya di kawasan Cempaka Putih. Air di Kalisari ini tidak membuat baju kekuningan ketika direndam dan dicuci dengan air ini. Rasa air rebusannya pun tidak beda jauh dengan air isi ulang.
[caption id="attachment_385454" align="aligncenter" width="400" caption="Pepohonan Rindang di Jalan Utama"]
Namun, memelihara sesuatu umumnya lebih sulit. Apalagi setiap tahun selalu ada rumah baru yang dibangun di kawasan ini. Pola pengambilan sampah juga berubah sejak awal 2014, dari yang sebelumnya tiga kali dalam seminggu menjadi tak menentu. Alhasil ada kecemasan warga terkait dengan air dan sampah, mulai dari resapan air, kualitas air tanah, hingga ancaman diare dan demam berdarah karena air yang menggenang dan lalat.
Agar permasalahan tersebut segera teratasi, maka tiap ketua RT di lingkungan kami, dipimpin ketua RW melakukan berbagai kegiatan untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan kualitas air tanah tetap layak minum. Kegiatan tersebut mulai dari kerja bakti bersama setiap minggu pertama, wajib tanam bagi setiap warga, pembuatan biopori di setiap rumah, pembersihan selokan secara berkala, dan pelarangan membuang sampah di tanah-tanah kosong.
Kegiatan-kegiatan tersebut semuanya bertujuan baik. Tapi sayangnya tidak semua warga antusias mendukung kegiatan tersebut. Entah mungkin disebabkan karakteristik warga di kawasan tempat tinggal kami yang umumnya keduanya bekerja, maka mereka sudah terlalu letih untuk mengurusi hal-hal di sekelilingnya.
Meskipun demikian, tidak sedikit warga yang masih peduli dengan lingkungan sekelilingnya. Setiap minggu pertama, para pria dewasa berkumpul di jalan utama dan kemudian bersama-sama merapikan tanaman dan membersihkan sampah di tanah-tanah yang masih kosong. Setelah pekerjaan tersebut selesai, maka saluran air menjadi sasaran. Sampah-sampah daun dan sampah plastik yang masuk ke dalam selokan diambil dan lumut yang menempel di saluran dikerok hingga bersih. Keberadaan sampah dalam selokan tersebut bisa menyebabkan air meluap ke jalanan jika hujan sangat deras. Selain itu kehadiran sampah baik di selokan dan tanah kosong juga membuat pemandangan tak sedap dan mengundang lalat.
[caption id="attachment_385516" align="aligncenter" width="200" caption="Sampah dan Lumut di Selokan Harus Segera Dibersihkan"]
Sedangkan para wanita dan anak-anak diminta untuk membersihkan halaman rumah dan memeriksa jika ada genangan air dan jentik nyamuk. Genangan air yang kotor bukan hanya mengundang nyamuk, tetapi juga bisa memunculkan penyakit seperti diare dan disentri. Awal-awal kami pindah di daerah ini ada petugas dari kelurahan yang ditemani pengurus RT melakukan sidak ke beberapa rumah warga untuk memeriksa apakah ada jentik nyamuk di kamar mandi, halaman rumah, di penampungan air dispenser, dan di belakang kulkas.
Kegiatan sidak jentik menghilang karena warga diharapkan sudah terbiasa menjaga lingkungannya agar bebas jentik, dan kemudian muncul gerakan wajib tanam bagi setiap warga. Gerakan wajib tanam ini menindaklanjuti keberhasilan gerakan penanaman pohon di kawasan Kopassus dalam rangka memperingati Hari Air Dunia ke-20 pada tahun 2012. Setiap rumah wajib menanam minimal lima tanaman, baik langsung ditanam di tanah di halaman maupun di pot-pot. Sebelum ada gerakan wajib tanam ini sebenarnya tiap warga yang telah menetap sejak perumahan ini dibangun rata-rata memiliki pohon buah, terutama mangga dan rambutan. Hal ini mengikuti citra daerah tetangga kami, Cijantung, yang disebut cagar buah-buahan.
[caption id="attachment_385458" align="aligncenter" width="312" caption="Wajib Tanam di Pekarangan Rumah"]
Ada banyak manfaat positif dalam gerakan wajib tanam. Manfaat pertama adalah rumah terlihat lebih asri dan hijau. Jika yang ditanam adalah sayur-sayuran atau tanaman bumbu maka si pemilik rumah tidak bakal kesulitan memenuhi kebutuhan dapurnya. Manfaat selanjutnya adalah menjauhkan dari risiko banjir. Selain saluran air yang bersih dan lancar, akar tanaman mampu menyerap air hujan dan mengurangi run off. Akar pepohonan juga mampu membantu tanah menyerap dan menyimpan air untuk kemudian ditampung di aquifer dan menjadi air tanah. Manfaat terakhir adalah sisa tanaman seperti dedaunan, ranting yang jatuh dan dapat dimanfaatkan untuk kompos. Sayangnya kebiasaan mengumpulkan sampah tanaman untuk dibuat kompos belum membudaya di lingkungan tempat tinggal kami. Mereka umumnya mencampur dengan sampah lainnya dan membuangnya di tong sampah.
[caption id="attachment_385517" align="aligncenter" width="200" caption="Bunga Juga Bisa Ditanam di Pekarangan"]
Selain wajib tanam, pihak keluarga meminta warga untuk membuat biopori di halaman rumahnya. Tapi lagi-lagi karena permasalahan teknis, tidak semua warga yang memiliki biopori di halaman rumahnya. Padahal biopori penting untuk membantu mengurangi run off sehingga menjadi air tanah.
[caption id="attachment_385518" align="aligncenter" width="200" caption="Biopori"]
Terkait dengan sampah, awal tahun ini daerah kami terganggu dengan pola pengambilan sampah yang berubah. Jika biasanya tiga kali dalam seminggu sampah tiap warga diangkut maka pada awal-awal tahun 2014 sempat kacau. Bahkan pernah suatu saat sampah baru diangkut setelah dua minggu. Alhasil lingkungan kami berubah dari yang bersih menjadi penuh lalat karena tong sampah besar yang dibagikan ke tiap warga tidak mampu menampung sampah rumah tangga selama dua minggu. Lalat pun bermunculan. Ada juga yang karena penuhnya kemudian jatuh dan masuk ke dalam selokan.
Setelah dilakukan penelusuran oleh ketua RW, rupanya tempat pembuangan sampah ‘jatah’ RW kami sering penuh sehingga petugas pengangkut sampah pun bingung untuk membuangnya. Baru setelah dilakukan koordinasi maka warga mulai bernafas lega meskipun frekuensi pengambilan sampah menjadi dua kali seminggu. Setidaknya tidak ada lagi sampah berserakan dan masuk ke selokan air. Air sampah atau lindi juga berbahaya jika meresap ke tanah dan bercampur dengan air tanah, karena banyak mengandung bakteri dan bisa menyebabkan berbagai penyakit pencernaan.