Sepuluh tahun lalu kucingku hanya satu. Ya, ia adalah si Nero yang kini sudah almarhum. Kucing oren ini langsung membuatku jatuh hati ketika ia memainkan jemuranku. Nakalnya... tapi imut. Ia juga membuatku trenyuh ketika wajahnya nempel di jendela melihatku menyantap mie goreng telur.
Sejak itu hari-hariku diwarnai oleh si Nero. Aku memanjakannya, membuat ia merasa jadi si kaisar Nero. Ia pun menjadi kucing preman, pemimpin geng, namun ada saja tetangga yang memanggilnya si Cemot.
Ketika rumahku direnovasi dan aku terpaksa mengontrak rumah sementara, Nero selalu kucemaskan. Aku pernah membawanya ke kontrakan, tapi ia tak betah. Ia ketakutan karena di lingkungan baru ada banyak kucing liar yang ia tak kenal.Â
Akhirnya aku yang mengalah. Setiap hari aku ke rumahku yang masih berantakan, hanya untuk menemui dan memberi makan si Nero yang malang. Ia tetap ada di sekitar rumah dan muncul jika kupanggil namanya.
Nero meninggal pada tahun 2020. Saat itu usianya hampir tujuh tahun. Ia kucingku yang paling kusayang hingga kini. Ia menjadi kakek buyut banyak kucing, seperti Cindil, Clara, Pang, dan Naura.Â
Di antara cucu dan cicitnya, Si kucing bernama Nero Manis alias Ipik-ipik adalah pewaris warna dari Nero. Ia sama-sama oren hanya ia tak pandai berkelahi seperti Nero, melainkan sangat manis dan tak berlaku seperti kucing garong.
Tak terasa saat ini sudah 2025. Sepuluh tahun lalu kucingku hanya satu. Kini kucingku 13 ekor. Banyak nian ya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H