Setelah membaca buku pertama karya Baek Se Hee yang berjudul sama, ada perasaan berat untuk melanjutkan ke buku kedua yang isinya masih berupa upaya si penulis untuk bangkit dari depresi berkepanjangan alias distimia. Selama proses membaca buku pertamanya, beberapa kali aku terpapar nuansa suramnya. Tapi  rasa penasaran untuk mengetahui cara penulis untuk sembuh dari gangguan mentalnya mengalahkanku. Aku pun kemudian membaca buku I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki 2 ini hingga tuntas.
Di awal buku kedua ini, rupanya kondisi kesehatan mental si penulis belum membaik. Moodnya naik turun dengan cepat. Ia bisa seketika sedih dan terluka ketika teringat akan komentar-komentar dari orang di sekelilingnya tentang penampilan fisiknya dan pendapatnya.
Ia merasa dirinya begitu peduli dengan penampilannya. Ia juga takut mendengar perkataan orang tentang dirinya. Ia merasa mungkin orang-orang di sekitarnya menganggapnya drama queen. Namun ia tak bisa memungkiri perasaannya mudah terombang-ambing dan dipengaruhi pandangan sekitarnya.
Bagian berikutnya membuatku terkejut karena tak siap. Yaitu, ketika si penulis dalam kondisi terbawahnya.
Awalnya si penulis terus menginginkan untuk mengundurkan diri dari perusahaannya. Ia kecewa rencana penerbitan bukunya dipersoalkan oleh perusahaannya. Ia juga punya masalah dengan kepercayaan dirinya setelah pindah divisi. Ia terus bercerita tentang rencana pengunduran dirinya itu ke terapisnya, namun si terapis memintanya memikirkan dahulu agar tidak menyesal.
Ketika berlibur, kondisinya malah jauh terpuruk. Ia mulai kembali mengonsumsi alkohol dan mencoba melukai dirinya. Ia juga melihat-lihat situasi di atap berpikir untuk bunuh diri. Kondisi ini membuat kekasih dan psikiaternya cemas.
Kondisi ini berulang hingga sebuah kecelakaan yang hampir merengut nyawanya menyadarkannya. Ia seperti diberi kesempatan memulai kehidupan yang baru. Ia mulai berjanji untuk mencari panduan hidup yang cocok dengan dirinya dan tidak terus membenci dirinya.
Seperti kusampaikan di awal, aku merasa berat untuk menuntaskan buku ini karena kuatir terpapar suasana suram seperti yang dirasai si penulis. Apalagi kemudian ada upaya si penulis melukai dirinya. Tap,i aku penasaran bagaimana cara si penulis akhirnya bisa berdamai dengan kondisinya, meski resep si penulis bersifat individual, tak selalu cocok ke setiap orang.
Buku ini sendiri masih memiliki format seperti buku pertama, yaitu berupa tanya jawab antara si penulis dan terapisnya. Lalu ada bagian yang memberitahukan kondisi suasana hati dan pendapat si penulis di beberapa fase terapinya. Menurutku perlu keberanian untuk menyampaikan cerita depresi ini karena sisi buruk dan kondisi paling bawah si penulis juga diungkap, sehingga aku merasa salut ke si penulis. Oh iya aku meminjam buku ini di Perpustakaan Berjalan.Â
Si penulis juga menyarankan pembaca agar tak segan datang ke psikolog ataupun psikiater jika kondisi kesehatan mentalnya bermasalah. Oleh karena gangguan mental ini ibarat penyakit yang tak terlihat, tetap perlu diobati.