Peristiwa tahun 1998 memiliki dampak yang begitu besar, termasuk bagi kalangan sipil. Oleh karenanya peristiwa tahun 1998 menjadi salah satu isu yang seksi di kalangan penulis. Ada beberapa novel yang menggunakan isu dan latar peristiwa tersebut. Salah satunya adalah (Bukan) Pasaran Terakhir karya Yon Bayu Wahyono. Seperti apakah novelnya?
Novel setebal 155 halaman ini bercerita tentang bujang lapuk bernama Kario Harsono. Ia mantan aktivis 98 yang kemudian memilih menyepi di desa kampung halamannya daripada berkarier politik menembus Senayan. Ia masih lajang karena hatinya belum menemukan pengganti Riri Safitri, mantan kekasihnya yang juga sama-sama seorang aktivis.
Kedamaiannya mulai terusik ketika rencana penambangan Gunung Kapur akan terus dijalankan oleh bupati di daerahnya, yang rupanya adalah Riri, eks kekasihnya. Desa-desa yang warganya awalnya menolak, telah berhasil dibujuk dengan pundi-pundi uang. Tinggal beberapa desa yang masih konsisten menolak, salah satunya desa tempat tinggal Kario.
Para aktivitas mahasiswa juga dikabarkan akan datang dan menginap di rumah Kario untuk membantu perjuangan. Namun semenjak mereka datang, kenangan Kario akan mantan kekasihnya kembali hadir.
Romantisasi Perjuangan Aktivis vs Pertemuan yang Dipaksakan
Yon Bayu dua tahun ini begitu produktif. Setelah dua novelnya, Prasa dan Kelir, rilis, ia kembali berkreasi dengan untaian kata, melahirkan (Bukan) Pasaran Terakhir. Serupa dengan dua novel terakhirnya, novel (Bukan) Pasaran Terakhir juga memiliki latar belakang peristiwa bersejarah. Kali ini mas Yon memilih peristiwa 98 yang memiliki pengaruh besar di berbagai bidang, termasuk sosial kemasyarakatan.
Membaca lembar-lembar pertamanya, saya diajak  menikmati suasana desa yang masih asri dan hijau pada saat langit masih gelap hingga cahaya matahari mulai terang. Ia begitu deskriptif menerangkan suasana desa, hutan jati yang telah mulai berganti dengan pepohonan lainnya, dan Gunung Kapur yang kemudian menjadi bahan sengketa di cerita ini.
Ada bagian yang membuatku tercenung dan ikut merasai keheningan dalam baris-baris kalimat seperti yang dirasai oleh Kario. Yakni, ketika ia melihat jalanan lengang yang terasa muram, padahal hari tersebut adalah hari pasaran yang diibaratkan Yon sebagai lebaran kecil bagi orang gunung.
Lembar-lembar pertama ini merupakan pembuka yang manis dan syahdu, sebelum kemudian saya merasa mulai tertekan untuk membaca bab-bab berikutnya. Bagian yang membuat saya merasa tidak nyaman itu ketika 12 aktivis muda itu mulai datang.
Memang hak seorang penulis untuk merancang para karakter dalam cerita. Dalam novel kali ini mas Yon memilih untuk membuat komparasi yang tajam dan kontradiktif antara kelompok aktivis pada eranya yakni tahun 1998 hingga 2009 dengan aktivis mahasiswa yang datang menginap di rumahnya.
Lewat surat-surat kepada Riri yang tak pernah dikirimnya, pembaca bisa mengetahui bahwa para aktivis pada era 98 begitu idealis, mereka tak begitu peduli dengan penampilan dan memang bertujuan ingin membantu kalangan yang tertindas. Namun, aktivis yang menumpang di rumah Kario tak nampak perjuangannya. Seperti pendapat Kario, mereka lebih terlihat seperti mahasiswa yang plesiran dan ingin numpang makan minum gratis.
Sepanjang membaca, saya merasa geregetan dan kesal oleh tabiat dan kata-kata yang disampaikan oleh para remaja tersebut ke tuan rumahnya. Harapannya ada bagian yang memberikan efek jera ke para mahasiswa yang cosplay sebagai aktivis tersebut agar mereka paham tabiatnya itu kurang benar. Namun alih-alih memberikan efek jera, mas Yon malah memberikan kejutan yang malah memanjakan dan membuat mereka besar kepala.
Bagian tentang para aktivis mahasiswa yang menginap ini menurut saya agak dipaksakan, terutama bagian tentang perjodohan ini. Oh iya paragraf ini dan berikutnya mengandung spoiler. Tapi, rasanya janggal ketika si adik menyodorkan calon istri ke kakaknya di mana mereka hanya mengenalnya beberapa hari. Apalagi sampai mereka bisa membaca isi ketikan surat Kario yang privat. Hah itu bukannya tidak pantas meskipun mereka bersaudara.
Desain karakter Ratri juga tidak konsisten. Di awal  cerita, Ratri digambarkan seperti mahasiswi kekinian yang punya gawai lengkap dan sering jalan-jalan ke berbagai spot wisata. Tapi di bagian lain ia mengamuk ke tuan rumahnya yang seorang juragan tanah, sementara ayahnya 'hanya' petani penggarap. Ia sampai nekat berpura-pura jadi aktivis demi mendapatkan uang saku. Â
Bagian tentang mahasiswa menumpang itu terutama Ratri dan kemudian kedatangan adik perempuan Kario itu yang melemahkan cerita di novel ini. Padahal bagian lainnya seperti romantisasi kenangan Kario akan perjuangannya sebagai aktivis pada masa lampau dan juga kenangannya pada mantan kekasihnya telah terjalin dengan manis.
Ada beberapa istilah bahasa Jawa yang seperti lupa diberikan catatan kaki. Sebaiknya mas Yon juga menjelaskan yang dimaksud dengan hari pasaran di cetakan berikutnya.
Sementara itu, isu tentang konservasi alam dan dampak eksploitasi Gunung Kapur di sini tersampaikan dengan baik. Begitu juga dengan cerita pabrik minyak goreng dan isu harta kartun begitu menggelitik, meski tak berhubungan dengan inti cerita.
Ya, saya menyukai gaya bercerita Yon Bayu yang deskriptif  dan terasa puitis di bagian-bagian awal cerita, seperti mengajak pembaca untuk menyepi sejenak di desa yang hijau. Demikian juga dengan kisah aktivis 98 dan cuplikan situasi masa tersebut yang bukan hanya pelengkap. Surat-surat untuk Riri juga menarik dibaca dan terasa personal seperti mendengar cerita mas Yon yang sedang galau sambil ngopi bareng.
Detail Buku:
Judul: (Bukan) Pasaran Terakhir
Penulis: Yon Bayu Wahyono
Penerbit: Teras Budaya Jakarta
Genre: Fiksi
Tebal Buku: 155 halaman
Cetakan: Pertama, Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H