Novel Jepang banyak yang mengangkat masa-masa sebelum dan setelah Perang Dunia Kedua. Novel-novel Jepang yang populer tersebut di antaranya Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi dan Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi. Nah, aku mendapatkan satu lagi, judulnya Nenek Hebat dari Saga alias Saga no Gabai Bachan. Ceritanya menarik, tentang anak laki-laki yang tinggal bersama neneknya yang miskin.
Buku ini diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh Yoshichi Shimada yang memiliki nama asli Akihiro Tokunaga. Ia lahir di Hiroshima. Kedua orang tuanya memang tinggal di sana, Namun pada masa perang, mereka pun mengungsi ke Saga, rumah neneknya.
Sang ayah sakit-sakitan dan kemudian meninggal setelah pulang dari Hiroshima menengok rumahnya. Ia terkena dampak dari radiasi nuklir. Setelah perang, ibu mereka kembali bekerja di sana bersama Akihiro dan kakaknya. Namun kemudian ia kesulitan secara ekonomi. Ia pun dengan terpaksa menitipkan anak bungsunya, Akihiro, ke ibunya di Saga. Akihiro begitu sedih harus tinggal bersama neneknya di rumah yang begitu bobrok.
Akihiro hidup nestapa namun juga bahagia bersama neneknya. Gaji si nenek sebagai  petugas bersih-bersih sangatlah minim. Untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari nenek selama ini mengumpulkan sisa sayuran yang mengalir di sungai untuk dimasak. Juga, mengumpulkan logam rongsokan dari magnet untuk dijual.Â
Seringkali Akihiro menyantap nasi tanpa lauk-pauk. Bahkan mereka pernah tak punya makanan apapun.Â
Tetangga mereka banyak yang miskin pada saat itu. Namun, si nenek jauh lebih miskin. Ada kalanya para tetangga dan para guru kasihan dengan si nenek dan memberi apa saja yang mereka miliki.
Bagian paling menyedihkan ketika masuk musim dingin. Suatu kali si nenek tak punya makanan apapun sehingga si cucu sering disuruh tidur meski sebenarnya masih sore. Akihiro pun tidur dengan kedinginan dan kelaparan karena angin masih masuk dari celah rumah yang bobrok. Hingga suatu ketika si nenek menemukan termos bekas. Nenek isi termos itu setiap malam dengan air panas.Â
Termos itu  membuat hidup Akihiro dan nenek jauh lebih baik. Setidaknya ia dan nenek tak lagi kedinginan dengan kaki mereka bersentuhan dengan termos.
Suatu ketika datang tamu pada malam hari. Si nenek menghidangkan teh dengan air panas dalam termos yang biasa dipakai di bawah kaki keduanya. Akihiro dan tamu merasa tak nyaman. Akihiro sangat malu, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam buku ini tak hanya kisah sedih yang diuraikan, namun juga masa-masa bahagia. Si nenek adalah sosok yang ceria, sehingga ia selalu punya jawaban jika Akihiro nampak bingung dan sedih. Di sungai, nenek punya semacam saringan. Di situlah 'harta karun' si nenek dari sisa sayuran, buah yang terjatuh, udang karang, ranting-ranting pohon untuk kayu bakar, hingga sandal yang hanyut.