Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara. Hingga saat ini penggunaan bahan bakar fosil masih begitu dominan di negeri ini. Padahal, cadangan bahan bakar fosil semakin menipis dan suatu ketika akan tak bersisa. Oleh karena itu mulai muncul gerakan energi baru terbarukan alias EBT, baik yang dilakukan warga di perkotaan maupun di daerah. Penggiat EBT di antaranya adalah kaum perempuan.
Mengapa penggunaan bahan bakar fosil perlu dikendalikan? Hal ini dikarenakan bahan bakar fosil kurang ramah terhadap lingkungan. Penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus dan berlebihan bisa menurunkan kualitas udara, berperan dalam pemanasan global, dan juga mengganggu ekosistem. Yang harus diingat juga, bahan bakar fosil tidak bisa diperbarui. Jika suatu ketika bahan bakar fosil habis dan kita tidak menyiapkan transisi energi sejak sekarang, lantas apa yang harus dilakukan kelak?
Saat ini penggunaan energi fosil masih dominan yakni 71 persen berdasarkan data yang dirilis oleh Databoks tahun 2021. Tentunya angka ini harus menjadi perhatian banyak kalangan mengingat PR energi di negeri ini masih banyak.
Untunglah transisi energi ini mulai menjadi isu yang banyak diperbincangkan selama satu dasawarsa terakhir. Meskipun masih seperti jalan di tempat, dan penurunan penggunaan bahan bakar fosil masih belum signifikan, namun hal ini menunjukkan jalan yang cerah dan potensi yang besar untuk mewujudkan penggunaan energi baru terbarukan yang makin meluas.
Saat ini makin banyak yang menggaungkan pentingnya transisi energi yang adil, salah satunya adalah Oxfam. Transisi energi yang adil dan berkelanjutan bermakna pergeseran penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan secara bertahap dengan berlandaskan keadilan dan kedaulatan. Nah, Oxfam sendiri merupakan institusi yang bertujuan untuk mengakhiri ketidakadilan dan kemiskinan, salah satunya dengan melakukan pemberdayaan ke kalangan marjinal.
Penggiat energi baru terbarukan dan energi yang murah sebenarnya sudah mulai banyak di berbagai daerah. Bahkan usaha kerajinan tradisional banyak memanfaatkan energi murah dan bersih tersebut seperti penggunaan panas matahari untuk pembuatan garam dan ikan asin.
Nah, salah satu penggunaan energi bersih yang mulai marak dilakukan oleh kaum perempuan di Nusa Tenggara Timur adalah biogas, dengan memanfaatkan kotoran ternak, seperti sapi, Â kambing, dan hewan ternak lainnya. Biogas ini akan bisa menggantikan elpiji untuk memasak dan juga untuk penerangan.
Dengan demikian kaum perempuan bisa berhemat. Pendapatannya bisa digunakan untuk hal yang bersifat produktif sehingga perekonomian keluarga mereka bisa lebih berkembang dan sejahtera. Biogas ini juga membantu kaum wanita di daerah yang belum terakses jaringan listrik dan sulit mendapatkan pasokan elpiji. Para perempuan juga tak lagi harus mencari kayu bakar dan mencari minyak tanah untuk memasak dan penerangan.
Untuk membuat biogas memerlukan peralatan seperti tangki dan pipa-pipa. Ada bagian yang disebut reaktor dan penampung gas. Air akan dicampur dengan kotoran lalu dibiarkan berfermentasi. Gas fermentasi kotoran hewan itulah yang kemudian akan disalurkan ke pipa-pipa. Meskipun berasal dari kotoran ternak, biogas tidak berbau. Api yang dihasilkan juga tingkat panasnya tinggi, berwarna biru, dan tidak berasal.
Penggunaan biogas di NTT cocok karena daerah ini banyak warga yang memiliki ternak. Penggunaan biogas juga meluas di berbagai daerah lainnya. Penggiat energi ini umumnya kaum perempuan karena merekalah salah satu pengguna energi di lingkungan domestik untuk memasak dan kegiatan lainnya.