Dua lukisan berikutnya membuatku takjub. Lukisan tersebut berukuran besar. Namun ternyata karya seni ini bukan termasuk lukisan, lebih tepatnya disebut tapestri. Kesenian ini umum di Timur Tengah. Jalinan benang dirangkai membentuk sebuah gambar. Kesenian ini tidak mudah dan perlu ketelatenan.
Kedua tapestri berukuran raksasa membuatku terkagum-kagum. Cukup lama aku berdiri di depan tapestri tersebut untuk menikmati setiap bagian gambarnya.
Tapestri pertama berjudul Silent Ark. Tapestri ini berukuran raksasa, 5,7 x 11,14 meter. Khadim Ali, seniman Australia berdarah Pakistan perupanya. Ia menggunakan bordir mesin dan manual untuk karyanya yang terinspirasi dari peristiwa kebakaran hutan hebat yang pernah terjadi di Australia.
Dalam tapestri tersebut para hewan nampak berupaya berlindung dari semburan naga. Para satwa nampak panik dan bergegas. Naga di sini merupakan simbol dari kebakaran hutan.
Tapestri karya Khadim Ali berikutnya adalah Fragments of Identity. Karya ini sungguh indah, seperti membaca puisi-puisi sastra Persia. Warna-warni dan gaya gambarnya mengingatkan pada cerita 1001 malam.
Meski gambarnya indah dan hidup, namun gambar-gambar yang menjadi bagian tapestri ini terinspirasi dari kejadian nyata yang memilukan. Tenda, manusia ikan, dan manusia membawa busur merupakan simbol-simbol dari yang ada di dunia ini. Kejahatan masih hidup bersama kebaikan.
Sementara Galih Johar memamerkan karya-karya  yang merupakan dekonstruksi untuk membentuk karya baru. Ia mencoba menggabungkan bagian gitar dengan gergaji. Bagaimana jika bata dikombinasikan dengan USB? Karya seni buatannya membuat pengunjung tersenyum dan menebak-nebak fungsinya setelah benda tersebut mengalami rekonstruksi dengan penambahan benda tertentu.
Bagus Pandega lewat Yesteryears memamerkan instalasi berupa rangkaian mesin yang terinspirasi dari kejadian semburan lumpur Lapindo. Bagaimana peristiwa tersebut merusak lahan dan rumah warga, namun kemudian membentuk pulau endapan yang disebut pulau Lusi. Ia melengkapinya dengan foto-foto para korban Lapindo.
Di ruangan lainnya terpajang lukisan karya S. Sudjojono (alm) berjudul Selamat Tinggal Pak yang dibuatnya tahun 1971. Lukisan ini menggambarkan kesedihannya ketika ayahnya terbunuh pada serangan Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta.