Ada beberapa lukisan yang menggambarkan gerilyawan di hutan di Museum Kehutanan. Aku membaca keterangan lukisan tersebut. Rupanya lukisan-lukisan tersebut saling berkaitan, menggambarkan perjuangan pasukan yang disebut pasukan wanara.Â
Apa itu pasukan wanara? Karena penasaran, aku pun mencari tahu ke dua staf Museum Kehutanan Ir Djamaludin Suryohadikusumo.
Pasukan wanara ini disebut juga rimbawan pejuang. Mereka adalah korps karyawan kehutanan yang membantu mempertahankan kemerdekaan. Pasukan Wanara ini mendapat pengesahan dari Jenderal Soedirman. Wilayah mereka adalah hutan-hutan di Jawa, seperti Malang, Jombang, dan Cirebon.
Mereka memanfaatkan pengetahuan mereka yang luas tentang hutan. Pengetahuan ini membantu mereka dalam bergerilya. Untuk senjata, mereka menggunakan senjata peninggalan Jepang dalam menghadapi Sekutu. Namun suatu ketika mereka mengalami musibah ketika merakit bom.
Lima pasukan gugur terkena ledakan bom di Sumberboto. Mereka adalah Soegondo, Djaudji, Soewadji, Kadjas, dan Tasmijan. Sebagai bentuk penghormatan, didirikan Monumen Perjuangan Pasukan Wanara di Sumberboto, Jombang pada tahun 1970.
Cerita tersebut belum pernah kudengar sebelumnya. Ini cerita yang mengharukan. Selain lukisan, juga ada peta persebaran perjuangan pasukan wanara, foto-foto pejuang, dan miniatur monumen. Awalnya koleksi rimbawan pejuang ini milik Museum Rimbawan Pejuang kemudian diserahkan ke Museum Kehutanan pada tahun 2006.
Wanara sendiri dalam mitologi Hindu berarti kera atau manusia hutan. Mereka dikenal memiliki sifat pemberani dan ingin tahu. Wanara yang terkenal dalam epik Ramayana adalah Hanoman.
Sebelum berjumpa dengan dua staf Museum, Fina dan Eki, aku berkeliling melihat-lihat koleksi museum yang dulunya bernama Museum Manggala Wanabakti. Museum ini diresmikan pada 24 Agustus 1983.Â
Baru pada tahun 2015, Museum ini berganti nama menjadi Museum Kehutanan Ir Djamaludin Suryohadikusumo sebagai bentuk penghargaan atas jasa Djamaludin Suryohadikusumo yang besar kepada bidang kehutanan selama 40 tahun pengabdian.
Ada dua lantai museum ini. Saat itu museum sedang lengang karena cuaca sedang berawan. Hal ini membuatku untuk menikmati setiap koleksi museum.
Total ada 887 artefak koleksi museum ini, namun hanya 529 artefak yang dipamerkan di lantai satu. Koleksi tersebut berupa visualisasi hutan dan kehutanan, hasil kekayaan hutan, hasil pengolahan hutan, peralatan kehutanan, sarana upacara bidang kehutanan, dan perjuangan pasukan wanara. Di lantai dua dipamerkan foto-foto dan informasi seputar kehutanan.
Yang menjadi koleksi masterpiece dan ikon Museum Kehutanan adalah pohon jati yang berusia 139 tahun. Pohon jati yang berasal dari Cepu ini tingginya 15 meter.
Di dekat pohon jati tersebut terdapat beberapa fosil kayu. Fosil ini diperkirakan berusia 10-15 ribu tahun dan ditemukan di bagian barat Rangkasbitung.Â
Ada juga bagian pohon jati yang berusia 336 tahun. Garis lingkar kambiumnya jika dihubungkan dengan berbagi peristiwa sejarah nasional dan sejarah kehutanan Indonesia ini menjadi sesuatu yang menarik.Â
Pohon jati ini seperti sosok yang menjadi saksi mata berbagai peristiwa sejarah. Pohon ini mati lalu ditebang pada tahun 1982.
Omong-omong tentang kayu jati rupanya jati berasal dari Burma, India, Thailand, dan Laos baru kemudian menyebar ke Jawa dan berbagai daerah di Indonesia. Jenis kayu jati juga beragam, Ada jati doreng, jari duri, dan jati gembol.
Kenapa koleksinya banyak tentang jati?
Rupanya ada alasan koleksi Museum Kehutanan didominasi tentang jati. Hal ini rupanya berkaitan dengan sejarah kehutanan di Indonesia. Dulu hutan di Jawa hanya dibedakan dua, hutan jati dan hutan alam rimba.
Pohon jati banyak ditumbuhkan karena kayu jati bisa dimanfaatkan untuk konstruksi bangunan, industri perkapalan, dan perlengkapan rumah tangga. Eksploitasi kayu jati besar-besaran dilakukan sejak VOC datang, pada masa Daendels, dilanjutkan oleh Pemerintah Belanda.Â
Pada masa tersebut ada berbagai sistem tebang yang kemudian mengalami perkembangan, berikut juga cara dan alat tebang, serta moda transportasi angkutan kayu. Setelah eksploitasi besar-besaran, baru kemudian muncul semacam kesadaran untuk reboisasi dan mengatur tata cara penebangan.
Dari informasi di museum, buku katalog museum, dan informasi yang kudapat di internet, aku baru tahu betapa kacaunya dan menyedihkannya dulu kondisi hutan jati di Indonesia. Jati karena merupakan komoditas penting maka dipolitissai. Kondisi ini makin buruk pada masa Daendels sehingga menyulut konflik dengan warga pribumi.
Masih banyak koleksi lain selain tentang jati
Koleksi Museum Kehutanan beragam. Pembahasan bukan hanya tentang jati. Nah di sekitar ikon museum ini juga ditempatkan koleksi berupa satwa yang dilindungi. Ini merupakan satwa awetan.Â
Ada harimau Sumatera, beruang madu, penyu sisik, trenggiling, lutung Jawa, dan buaya muara. Tujuan keberadaan tentang satwa awetan ini untuk mengingatkan berapa pentingnya hutan sebagai rumah flora dan fauna.
Ada juga koleksi tentang alat pengukuran hutan, pemetaan hutan, pengangkutan kayu, alat eksploitasi hutan, dan mantri hutan. Oh iya mantri hutan ini semacam polisi hutan zaman dulu, namun fungsinya bukan hanya mengawasi dan mengamankan hutan, namun juga melakukan fungsi administrasi dan keuangan, memimpin semua pekerjaan teknis kehutanan, serta memeriksa dan melaporkan kasus pelanggaran hutan.
Di sudut lain museum diletakkan semacam diorama tentang berbagai jenis hutan. Ada hutan pinus, hutan jati, hutan mangrove, hutan alam, dan hutan lindung. Di setiap diorama dijelaskan persebaran hutan tersebut, fauna khas, dan fungsi hutan tersebut.Â
Juga ada visualisasi berbagai taman nasional, seperti Taman Nasional Wakatobi, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo.
Hasil hutan apa saja?
Dalam museum ini aku mendapatkan banyak wawasan tentang hasil hutan. Secara umum hasil hutan dibagi dua yaitu hasil hutan berupa kayu dan non kayu
Yang kayu bisa dibuat papan kayu, triplek, dan ubin parket jati, kertas, juga aneka kerajinan tangan. Kayunya sendiri bukan hanya jati, melainkan juga kayu kapur, kayu keruing, kayu ramin, dan kayu meranti merah.
Sedangkan hasil hutan non kayu ada begitu banyak. Ada minyak cengkeh, minyak kenanga, minyak cendana, kayu manis, madu, benang sutera, damar, rotan, bambu, minyak atsiri, bahan obat, kemenyan, bahan pelitur, bahan penyamak kulit, dan kapur barus.
Di lantai dua sendiri koleksinya lebih ke foto-foto kuno di antaranya tentang pemeliharaan dan aneka satwa yang dilindungi. Juga ada informasi tentang aneka jenis hutan dan fungsinya.Â
Sayangnya persebaran tiap jenis hutan dan berapa luasan hutan yang ada di tiap pulau, serta berbagai kasus kebakaran hutan tidak ada di sini. Padahal itu adalah info yang penting agar pengunjung bisa teredukasi pentingnya menjaga hutan.
Kami kemudian melanjutkan mengobrol tentang inovasi museum, penambahan barcode di berbagai koleksi, serta isu seputar museum lainnya di perpustakaan yang ada di lantai dua.Â
Tempat ini koleksinya tentang kehutanan juga lengkap. Wah kunjungan yang seru dan menyenangkan. Apalagi ketika kemudian diajak melihat ruang teater audio visualnya. Wah bisa jadi tempat kolaborasi komunitas nih.
Oh iya museum ini buka tiap hari kerja, Senin-Jumat pukul 09.00-15.00 WIB. Lokasinya di Kompleks Kementerian KLHK di Gatot Subroto, Senayan. Museum ini mudah diakses dengan KRL. Tinggal berjalan kaki dari Stasiun Palmerah.
Salam lestari dan salam museum di hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H