Hujan itu belum tiba meski langit telah begitu gelap. Namun, aku bisa menebak hujan akan segera tiba. Aromanya telah menyeruak. Aku bisa menghirup aromanya. Aroma hujan.
Tak lama hujan pun mengguyur jalanan, halaman, Â dan sekitar. Aku terlindung karena berada di dalam rumah. Dulu atap rumah pernah bermasalah, sehingga air hujan masuk ke kamar. Tapi kini aku merasa kering dan hangat.
Hujan turun begitu derasnya. Kubuka sedikit jendela agar aku bisa membaui aromanya. Aroma hujan. Aroma ini khas, seperti aroma tanah basah. Aroma yang menenangkan, aku menyukainya.
Aroma ini berbaur dengan kopi hitam yang baru kuseduh. Uap panasnya menghambur di udara, memberikan rasa hangat dan aroma kopi yang pahit dan khas. Aroma hujan bersanding dengan aroma hujan, selaras juga.
Sambil memperhatikan jalanan dari balik jendela, kuhirup kopi yang masih panas perlahan-lahan. Kulihat kucingku, Opal, berlari masuk halaman. Ia berlari kencang ke dalam rumah lewat pintu khusus kucing yang kupasang buat mereka. Ia kibas-kibaskan bulunya yang basah. Aroma hujan itu ikut dibawanya lewat bulunya.
Aroma hujan apa saja senyawa yang ada di dalamnya? Aku bertanya-tanya? Mengapa tanah bercampur dengan air hujan bisa menghasilkan aroma khas menenangkan?
Apakah tidak ada yang terpikir untuk menciptakan aroma terapi berupa aroma hujan?
Ku yakin ada banyak yang menyukai aroma hujan. Apakah kamu juga menyukai aroma hujan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H