Aku tak suka naik becak. Kecuali, saat hujan sehingga plastiknya diturunkan. Aku tak suka naik becak karena terlihat jelas penumpangnya. Â Namun aku banyak diselamatkan oleh becak.
Beberapa kali aku hampir terlambat dan diselamatkan oleh becak. Jalan kaki meski tak begitu jauh akan lebih lambat. Aku bisa saja berlari atau jalan cepat. Tapi kawanku sedang tak sehat sehingga kami pun berbecak.
Suatu ketika aku diajak bibi kulakan barang. Ada begitu banyak barang dibelinya di pasar besar.
Sampai aku tak yakin bagaimana bisa kami pulang membawa semuanya dan berbecak. Nyatanya kami bisa, walau aku lupa apakah becaknya satu atau dua.
Lagi-lagi aku berbecak pada masa lalu. Bersama kakak dan ayah ke Alun-alun. Jika jalanan mendaki, ayah pun turun. Kami menikmati Sabtu, jalan-jalan ke Alun-alun.
Becak jadi teman kami ke sana ke situ. Saat itu masih jarang angkutan umum. Kami juga hanya punya motor satu. Akhirnya kami sering naik becak. Kadang-kadang aku dipangku biar muat.
Ayah hingga menua tetap suka naik becak. Begitu juga nenek yang suka sendirian ke pasar dan puskesmas. Becak selalu ada di dekat masjid di ujung gang. Pemiliknya orang jauh dan jarang pulang. Mereka tidur dan mandi di masjid, kadang-kadang tidur di becak.
Aku terbiasa dengan kehadiran mereka. Hingga suatu kali mereka semua tak ada. Entah ke mana mereka semua. Sepertinya hanya ayah yang tahu jawabnya. Setiap kali aku melangkah ke gang dekat masjid, aku merasa ada yang kurang.
Kam suatu kali berbecak menuju jalan raya. Kami hendak nonton karnaval. Biasanya ada setiap tujuhbelasan. Kami berangkat dan pulang naik becak. Aku dipangku ibu dan untunglah berat badan kami saat itu ringan.
Aku pernah suka naik becak. Waktu itu aku dan kawan-kawan SD suka bertualang. Kami gemar pergi jauh jalan kaki usai pulang sekolah. Setelahnya kami pulang naik becak. Kami patungan naik becak. Isinya bisa berempat karena kami duduk sempit-sempitan.