Lebih baik melawan Belanda dan penjajah lainnya, daripada melawan bangsa sendiri. Kita tidak tahu siapa lawan dan kawan ketika berhadapan dengan bangsa sendiri.
Rasa cemas dan was-was ketika berhadapan dengan pemberontak inilah yang kurasakan sepanjang menyaksikan film "Darah dan Doa" (The Long March of Siliwangi) di nobar jelang peringatan Hari Film Nasional di Museum Penerangan, Sabtu, 26 Maret 2022.
Tokoh utama dalam film ini adalah Kapten Sudarto (Del Juzar). Ia salah satu pemimpin penyerangan melawan pemberontakan PKI Madiun. Rupanya salah satu pemimpin pemberontakan mengenalnya. Ia dan anak buahnya menyerah. Namun sayangnya salah satu anak buah Sudarto, Mula malah menembaknya.
Cerita kemudian bergulir ke pertemuan Sudarto dengan gadis berdarah campuran Jerman bernama Connie. Benih-benih asmara timbul di antara keduanya. Kapten Adam, sahabatnya, kemudian meminta Sudarto menjauhinya demi martabat sebagai pemimpin.
Perintah untuk melakukan long march kemudian terbit seiring dengan perjanjian Renville yang kemudian juga dilanggar. Tak semua anggota keluarga prajurit setuju, banyak yang keberatan. Namun sebagian besar dari mereka ikut serta berjalan kaki, mengikuti long march yang penuh dengan ketidakpastian, sepanjang sekitar 200 kilometer, dari Yogyakarta menuju Jawa Barat.
Sepanjang melakukan long march, Kapten Sudarto mendekati perawat cantik bernama Widya. Ia dan pasukannya kemudian mendapat banyak cobaan, dari jebakan dari seorang pengkhianat, sekapan DI/TI, hingga salah seorang anak buahnya terpaksa menembak mati ayahnya yang pengkhianat.
Cerita Perjuangan yang Tak Selalu Heroik
Dalam film-film perjuangan atau film perang biasanya karakter tokoh utamanya digambarkan heroik dan memiliki sifat-sifat teladan. Mungkin yang terasa lebih apa adanya dalam film serial "Tour of Duty" dan "Band of Brothers".
Usmar Ismail ini tokoh utamanya, yakni Kapten Sudarto digambarkan sebagai sosok yang tidak sempurna. Ia memang sabar dan sosok yang perhatian kepada anak buahnya, namun ia peragu, mudah jatuh hati, dan kurang berhati-hati.
Nah, dalam film "Darah dan Doa" besutanDua kali nyawa anak buahnya menjadi taruhan karena Kapten Sudarto kurang berhati-hati dalam membaca situasi. Yang paling tragis ketika mereka masuk kandang macan, markas DI/TII, tanpa banyak curiga.
Rasa lapar yang sangat dan juga faktor lelah karena berminggu-minggu berjalan kaki membuat kewaspadaan mereka memudar. Apalagi mereka merasa seperti disambut hangat oleh anak bangsa sendiri.