Ibu, paman, dan bibi kerap meminta tolong padaku untuk membujuk nenek membuang kucing-kucingnya. Mereka merasa keberadaan kucing terlalu banyak sungguh menganggu. Bulu di mana-mana dan bikin aroma rumah tak sedap.
Aku sendiri juga sama seperti sama, kerepotan dengan mereka. Tapi setiap kali aku melihat mata mereka, aku tak tega berbuat jahat dengan membuangnya. Akhirnya aku membantu nenek sebisanya, memberi mereka makan, membersihkan matanya, dan menyayangi mereka.
Hal ini sama dengan yang dialami oleh Indi, tokoh cerita dalam novel ini. Hanya anjing-anjingnya si nenek sulit sekali diatur. Indi beberapa kali hampir digigit oleh mereka. Yang bikin Indi sedih dan kesal, neneknya selalu membela si anjing. Â Anjing-anjing nenek tak percaya ke manusia selain nenek, karena trauma mengalami perlakuan yang tak mengenakkan dari manusia.
Cerita dalam buku ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama tentang hubungan Indi dan si nenek yang bertalian dengan urusan anjing. Bagian kedua ketika Indi sudah bekerja dan ngekos bersama Maya dan Wawa.
Di bagian kedua yang lebih tebal ini Indi dan kedua karibnya menjadi perwakilan sosok perempuan yang mandiri. Prinsip mereka bekerja dan menjadi mandiri itu penting bagi perempuan, bukan hanya demi uang, namun menunjukkan eksistensi dan menyalurkan keahlian.
Dalam buku ini ada banyak bahasa Sunda ala Bogor. Isi surat si nenek sendiri ke Indi masih menggunakan ejaan lama.Â
Ceritanya dekat dengan keseharian perempuan, seperti aku dan kalian. Rupanya ada bagian dari nenek atau keluarga lainnya yang mungkin kita kurang sukai, eh rupanya kemudian kita mendapat warisan sikap tersebut dan menjadi bagian darinya.
Hemmm aku jadi kangen nenek dan kucing-kucing nenek, seperti Imut, Tung-tung, dan Bon-bon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H