Film yang biasa diputar saat liburan Natal dan tahun baru yang nggak pernah bosan kutonton adalah Trilogi "The Lord of The Rings". Film ini masih masuk sebagai salah satu film favoritku sepanjang masa. Menyaksikannya lagi membuatku kembali berangan-angan tentang dongeng peri dan kurcaci.
Epik. Bagiku karya novel yang paling berhasil diadaptasi ke layar lebar adalah dongeng "The Lord of The Rings". Bukan berarti karya novel John Ronald Reuel Tolkien ini buruk. Tidak. Peter Jackson sangat piawai dan cerdik memboyong bagian-bagian yang legit dalam kisah di novel untuk diboyong ke layar lebar.
Ya, kisah petualangan Frodo, Sam, dan kedua sepupunya ini di novel lumayan panjang sebelum mereka berjumpa dengan Strider alias Aragorn, mereka ditolong oleh si misterius Tom Bombadil. Belum lagi dialog di Rivendell dan percakapan antara Merry bersama manusia pohon, Ent.
Peter Jackson berhasil memilih-milih adegan yang signifikan untuk ditampilkan di film. Meski aku membaca ketiga novelnya, aku merasa begitu senang melihat versi layar lebarnya. Lebih bagus dan lebih magis dari yang kubayangkan ketika membaca novelnya.
Setiap kali menonton film ini di teve, aku tak sabar untuk terus menontonnya hingga tamat, hingga pertempuran final dan hingga Frodo berhasil melempar cincin ke Mount Doom.
Favoritku dulu di awal-awal menonton film ini adalah Aragorn. Menurutku ia adalah kesatria yang pemberani dan cerdas. Namun setelah bertambah usia, karakter favoritku bergeser ke Faramir.
Si Faramir memiliki latar kisah yang tragis. Ia sosok kesatria yang sering dinomorduakan oleh ayahnya. Ayahnya, Denethor II, merupakan petugas yang diserahi mengurus Gondor. Â
Ayahnya lebih menyayangi kakaknya, Boromir, yang gagah pemberani. Sedangkan Faramir memiliki sifat yang lembut, ia menyukai seni dan alam.
Ketika Boromir tewas, ia menggantikan posisi kakaknya sebagai kapten. Namun sayangnya kata-kata dan sikap ayahnya membuatnya patah hati. Ayahnya berharap Boromir dan Faramir bertukar takdir.