Dalam film ini banyak dikupas tentang hal-hal yang tidak  menguntungkan bagi perempuan. Misalnya tes keperawanan yang pernah digagas seorang calon bupati, kemudian 'doktrin' perempuan agar tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, isu poligami, juga perempuan yang dituntut bisa melakukan banyak hal, mengasuh anak dan juga bekerja.
Isu sosial lainnya adalah tentang kebebasan bersuara dan pengrusakan alam yang mengubah lingkungan.
Nah, lantas apa perbedaan antara versi festival dan versi bioskop? Oh iya untuk versi festival sudah pernah kuulas di artikel berikut ini (Cerita Gadis  yang Mimpinya Terpasung).
1. Dihiasi lagu-lagu yang kocak dan sesuai dengan temanya
Lagu-lagu dalam film ini umumnya lagu dangdut dan pop rock yang populer pada masa tahun 90-an. Ada lagu "Bondolan", juga "Tua-tua Keladi" dan "Mimpi" ketika Anggun masih menggunakan nama lengkap Anggun C. Sasmi.
Nah lagu "Bondolan" ini dibawakan si nenek Yuni dan teman-temannya, sesama teman pengajian atau kasidahan. Liriknya lucu berbahasa Jawa.
Bocah wadon doyan lanang
Bocah lanang doyan wadon
pada doyane
Dikawinaken
Dalam lagu yang dipopulerkan Sarah Brillian ini, yang dimaksud dengan wadon bondolan itu rupanya perempuan yang suka keluyuran.
Sedangkan lagu "Mimpi"-nya Anggun cocok menggambarkan harapan dari Yuni, Suci, dan kawan-kawannya. Tembang "Tua-tua Keladi" pas menyindir salah satu karakter yang muncul dalam film ini.
Dia bilang aku cantik
Dia pun bilang ku menarik
Dia bilang bodyku asik
Hingga dada ini deg-degan
Mulut lelaki katanya selalu begitu
Apalagi dia yang masih suka dengan gadis remaja
Oh iya musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono seingatku malah lebih banyak di versi festival daripada versi bioskop.