Perkenalanku dengan bacang pada suatu waktu, yang sudah kulupa persisnya. Ayah membawakan kami oleh-oleh makanan dibungkus daun berbentuk limas segitiga. Ketika dibuka, kupikir ia lepet atau lemper, ternyata bukan. Bacang namanya, kata ayah.
Ia sama seperti lontong isi menggunakan bahan utama berupa beras. Beras ditanak setengah matang lalu diberikan isian. Isiannya inilah yang memiliki rasa dan aroma khas. Isinya adalah daging cincang yang dimasak dengan bumbu aneka rupa serta minyak wijen hingga matang.
Seperti halnya lontong maka ia pun dibungkus dengan daun. Daunnya bisa daun bambu, daun pandan, atau daun pisang. Pilihan daun juga bisa menentukan aroma. Setelah dibentuk limas, diiikat, lalu dimasak dengan air banyak hingga benar-benar matang.
Aku membayangkan proses yang lama dan perlu kesabaran. Sementara aku hanya tinggal membeli dan menyantapnya.
Aku menyukainya. Bacang memiliki rasa dan aroma khas yang membedakannya dengan makanan sejenisnya, seperti lemper, lontong isi, lepet, dan lainnya. Ia mengenyangkan juga gurih nikmat. Sayangnya aku jarang menemukan penjual bacang di sekitar rumah.
Ketika aku menemukan dan menyantap bacang, aku teringat masa-masa aku dan kakak patungan membeli bacang. Kami makan berdua sembunyi-sembunyi, takut diminta.
Jelang tengah malam dan perutku kenyang. Tapi entah kenapa aku merindukan menyantap bacang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H