Menyaksikan film pendek "Bura" yang ditayangkan pada acara KomikTalk dan nobar virtual bareng Kinosaurus tadi sore, membuatku teringat pada masa silam di kampung halaman. Tentang misteri ninja yang pernah merebak di Jawa Timur, berawal dari Banyuwangi, menyebar ke berbagai daerah hingga ke Malang.
Misteri ninja ini lekat dengan merebaknya rumor dukun santet yang menyerang para ulama dan santri. Awalnya rumor ini marak di Banyuwangi yang sejak dulu dikenal dengan kisah mistisnya.
Karena kasus ninja ini berdasar rumor maka cerita pun berkembang, bergantung pada penuturnya. Dukun santet ini disebut berpenampilan dan berkelakuan seperti ninja. Ada yang bilang si ninja bisa masuk rumah dan menghilang tanpa jejak. Juga cerita ninja yang takut dengan sapu lidi. Ada pula cerita si ninja bisa berubah jadi kucing atau lainnya. Ah hebat dan liar juga imajinasinya saat itu.
Suatu ketika kasus ninja ini pernah ramai di sekitar tempat tinggal. Aku lupa pemicunya.
Lalu rumor ini lama-kelamaan menghilang di Malang tapi imbasnya ternyata menyeramkan. Di Banyuwangi ada lebih dari 100 korbannya, di Malang juga korbannya mencapai 10 orang, belum di daerah-daerah lain. Ada yang menyebut korban jiwanya mencapai 250 orang. Duh!
Naasnya si korban yang disebut ninja rata-rata mereka yang tak bersalah. Kebanyakan malah orang gila di jalanan. Lainnya adalah warga biasa.
Oleh karenanya menyaksikan film berdurasi 12 menitan karya Eden Junjung, aku langsung teringat masa itu. Situasi politik yang kacau pada tahun 1998 makin dibumbui dengan isu teror ninja.
Dalam film ini diperlihatkan sebuah pesantren yang para santrinya sedang menerapkan ilmu kekebalan. Lalu ada santri mereka, perempuan, dan pria yang berpacaran secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Naasnya rupanya saat itu sedang dilakukan perburuan ninja. Mereka pun ketakutan. Keduanya pun kemudian terpisah.
Meski durasinya begitu singkat, penonton bisa menyerap pesan dalam film ini. Rumor ibarat bisa ular akan berbahaya apabila kemudian dianggap sebagai sebuah kebenaran. Apalagi jika kemudian masyarakat merasa berhak untuk main hakim sendiri dengan dasar kesimpulan sendiri.